Indonesia dan Korsel masih berpeluang menjalin kerja sama yang lebih strategis. Setelah penandatanganan IK-CEPA, kerja sama Korsel dan Indonesia sangat dekat.
Oleh DIAN DEWI PURNAMASARI
Duta Besar RI di Seoul Gandi Sulistiyanto (kanan), Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani (tengah), dan Duta Besar Korea Selatan di Jakarta Lee Sang Deok meluncurkan logo perayaan 50 tahun hubungan RI-Korsel, Kamis (26/1/2023). Indonesia satu-satunya mitra strategis Korsel di Asia Tenggara.
Hubungan kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan yang dimulai sejak 1973 kini telah berumur 50 tahun. Kedua negara yang terpisah dan dihubungkan oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik itu menghadapi tantangan erosi multilateralisme untuk memperkuat kemitraan strategisnya. Namun, para pakar meyakini hubungan erat di masa lalu justru bisa menguatkan relasi di 50 tahun mendatang.
Hal itu diungkapkan Deputi Direktur Asia Timur Kementerian Luar Negeri Vahd Nabyl A Mulachela saat seminar bertema ”Membangun Jembatan: Menilai Masa Lalu dan Membentuk Masa Depan Relasi Indonesia-Korea” yang diselenggarakan program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Rabu (2/8/2023) lalu. Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea 2023 adalah program fellowship kerja sama Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).
Nabyl menuturkan, diplomasi Indonesia dengan Korsel memang lebih belakangan jika dibandingkan diplomasi Indonesia dengan Korea Utara. Namun, sejak 2006, kerja sama strategis, terutama dalam bidang perdagangan minyak dan tenaga kerja, terjalin erat antara Indonesia dan Korsel. Kemudian, pada 2017, Indonesia menjalin kemitraan spesial dan strategis dengan Korsel.
Ia menambahkan, tahun 2019, Indonesia dan ”Negeri Ginseng” menandatangani Deklarasi Bersama Penyelesaian Perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Korea Selatan atau IK-CEPA. Indonesia meyakini IK-CEPA dapat menopang transformasi ekonomi Indonesia karena peluang kerja sama tidak sebatas perdagangan barang, tetapi juga jasa, investasi, dan kerja sama ekonomi lain.
Deputi Direktur Asia Timur Kementerian Luar Negeri Indonesia Vahd Nabyl A Mulachela saat lokakarya bertema ”Membangun Jembatan: Menilai Masa Lalu dan Membentuk Masa Depan Relasi Indonesia-Korea” yang diselenggarakan dalam rangkaian program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Rabu (2/8/2023).
Tantangan
Meskipun demikian, relasi kedua negara juga mengalami tantangan yang tak mudah. Persoalan utamanya adalah erosi multilateralisme. Fenomena itu terjadi karena dampak perang berkepanjangan Rusia-Ukraina, pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19, dan perubahan iklim. Contohnya, untuk bisa masuk dalam wadah bergensi forum iklim dunia, kata Nabyl, Indonesia pun masih perlu menyesuaikan sejumlah regulasi.
”Erosi multilateralisme adalah permasalahan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu negara. Semua negara saling tergantung sehingga apa yang terjadi di suatu negara akan berdampak di negara lain, terutama dampak konflik yang disebabkan keserakahan dan balas dendam di masa lalu,” ujarnya.
Di kawasan Asia Tenggara, relasi kedua negara juga terancam oleh menguatnya permusuhan antara Amerika Serikat dan China serta eskalasi konflik di Selat Taiwan dan Semenanjung Korea, Laut China Selatan, dan Myanmar. Sebagai negara dengan kekuatan menengah, Indonesia memilih strategi untuk menjadi negara yang bebas, damai, dan sejahtera.
Akhir Juli lalu, tiga negara anti-Barat semakin menguatkan poros kekuatan mereka. Korut sedang mengupayakan poros Pyongyang-Beijing-Moskwa untuk menyaingi Barat. Hal itu ditandai dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un menyambut kedatangan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dalam peringatan 70 Tahun Gencatan Senjata Perang Korea.
Kunjungan itu menunjukkan hubungan kedua negara yang semakin mendekat di tengah memanasnya persaingan geopolitik dengan Amerika Serikat. Pada hari yang sama, Kamis (27/7/2023), Kim juga menyambut kedatangan delegasi China yang dipimpin oleh anggota Politbiro Partai Komunis China Li Hongzhong (Kompas.id, 27 Juli 2023).
”Indonesia tidak bisa mengabaikan tantangan geopolitik itu. Harapan Indonesia sebenarnya ingin berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia. Kita berharap kerja sama 50 tahun ke depan bisa lebih baik, walaupun untuk meneropong ke masa depan, kami juga belum tahu,” papar Nabyl.
Deputi Direktur Asia Timur Kementerian Luar Negeri Vahd Nabyl A Mulachela memberikan materi tentang tantangan geopolitik dalam relasi Indonesia-Korsel saat lokakarya bertema ”Membangun Jembatan: Menilai Masa Lalu dan Membentuk Masa Depan Relasi Indonesia-Korea” yang diselenggarakan dalam rangkaian program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Rabu (2/8/2023).
Adapun bagi Indonesia dan Korsel, target yang ingin dicapai untuk merajut relasi 50 tahun ke depan adalah memperkuat relasi bilateral, kerja sama dalam bidang ekonomi hijau, pembangunan hijau dan berkelanjutan; meningkatkan kolaborasi untuk mendorong isu regional; serta mempromosikan kedamaian dan stabilitas regional yang lebih besar dari yang ada sekarang.
Peluang
Profesor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Universitas Korea Jae Hyeok Shin yang hadir dalam lokakarya itu mengatakan, kerja sama kedua negara terus meningkat. Pada 2021, nilai perdagangan Korsel-Indonesia hanya 19,3 juta dollar AS. Namun, pada 2022, atau berselang setahun, nilai perdagangan itu sudah mencapai 20,57 juta dollar AS. Nilai investasi pun disebutnya terus meningkat sepanjang 2017-2021.
”Di bidang pertahanan dan keamanan kita juga memiliki kerja sama tingkat tinggi, mulai dari pembuatan mesin pesawat jet hingga perawatan kapal selam militer,” ucapnya.
Profesor ilmu politik dan hubungan internasional dari Universitas Korea, Jae Hyeok Shin, hadir sebagai narasumber saat lokakarya bertema ”Membangun Jembatan: Menilai Masa Lalu dan Membentuk Masa Depan Relasi Indonesia-Korea” yang diselenggarakan dalam rangkaian program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Rabu (2/8/2023).
Oleh karena itu, dia menyebut Indonesia dan Korsel masih berpeluang menjalin kerja sama yang lebih strategis. Sebab, Indonesia dan Korsel sama-sama negara yang memperjuangkan demokrasi. Beberapa peluang itu di antaranya kerja sama diversifikasi ekonomi, pengembangan infrastruktur, riset pengembangan bioteknologi, kecerdasan buatan, dan teknologi hijau. Selain itu, ada pula beasiswa, pertukaran kebudayaan, pertahanan dan keamanan, turisme dan promosi, pelayanan kesehatan, kerja sama UMKM, dan inisiatif soal lingkungan hijau ataupun upaya mengatasi dampak perubahan iklim.
Jae mengakui, di kawasan ASEAN, nilai investasi dan kerja sama ekonomi Korsel memang masih jauh lebih besar ke Vietnam. Menurut dia, itu terjadi karena pengaruh kebijakan negara. Vietnam dinilai lebih agresif dalam menarik investor. Namun, sekarang, setelah ada kerja sama IK-CEPA, Korsel pun banyak mencari peluang investasi di Indonesia. Dia berharap Pemerintah Indonesia bisa menyambut itikad baik itu dengan afirmasi kebijakan yang lebih positif.
”Indonesia punya demokrasi, harapannya kebijakan di Indonesia lebih stabil dibandingkan Vietnam. Semua tergantung pada kebijakan negara,” tutur Jae.
Kolaborasi Indonesia-Korsel disebutnya juga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas regional, perkembangan teknologi, koneksi antarwarga, kesehatan, keamanan publik, serta pengembangan infrastruktur.