Menjadi Middle Power, Buktikan Kekuatan Indonesia Tidak Hanya Dilihat Secara Ekonomi

Fetry Wuryasti/Media Indonesia Daily Newspaper

Dalam kekuatan diplomasi Internasional, Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) sama-sama berstatus sebagai negara dengan kekuatan menengah atau middle power nation. Middle power atau kekuatan tengah adalah istilah untuk menyebut negara dalam spektrum kekuatan internasional di posisi tengah dan berada di bawah negara adidaya.

Para negara middle power berusaha untuk mengambil peran dalam forum multilateral untuk meningkatkan kapasitas mereka, dengan tujuan memitigasi risiko bagi mereka sendiri.

Memang tidak sebesar negara adidaya layaknya Amerika Serikat, Rusia, atau Tiongkok, namun negara kekuatan menengah masih lebih besar dan berdaya secara ekonomi dan diplomasi terhadap negara-negara kecil seperti untuk kawasan pasifik, dan beberapa wilayah Asia dan Afrika.

Baik Indonesia dan Korea Selatan memiliki pengaruh yang signifikan di kancah global, baik untuk sektor ekonomi, juga merangkul negara-negara kawasannya menyatukan kekuatan suara yang sama dalam menentukan keberpihakan atas masalah-masalah internasional.

Dosen Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra mengatakan, Indonesia misalnya, bisa menjadi juru damai atau jadi jembatan bagi negara-negara yang sedang bertikai dan memainkan peran penyeimbang di tengah dunia yang terpolarisasi.

“Meski tidak dipungkiri, negara dengan ekonomi kuat akan menjadi haluan atau poros bagi negara yang tingkat pendapatan atau ekonominya tidak sekuat negara adidaya. Namun tidak selamanya selalu tentang kekuatan uang, melainkan juga jumlah penduduk yang besar, dan identitas yang kuat. Di dua terakhir itu yang mencerminkan Indonesia,” kata Radityo pada lokakarya bertajuk Indonesia and Korea Middlepower-ship in Changing World” yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), dan Korean Foundation, baru-baru ini.

Menurut dia, Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas aktif sudah memainkan peran sebagai negara middle power dengan cukup baik. Ia lalu menjelaskan sejumlah kebijakan luar negeri Indonesia di bawah arahan Presiden Jokowi.

Indonesia senantiasa mendorong multilateralisme yang lebih inklusif dan setara, mendorong hak membangun bagi semua negara, serta menjadi penengah bagi negara yang bertikai.

Indonesia juga bersikap tegas menghadapi tekanan negara lain, seperti saat tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan G20 di Bali, pada November 2022, meski mendapat penolakan dan ancaman boikot dari negara Eropa.

“Tipikal negara middle power ialah berusaha menjadi mediator, dan cenderung menjadi jembatan besar antara dua pihak yang berseberangan atau bertikai,” kata Radityo.

Sebagai negara kekuatan menengah, Indonesia dan Korsel memiliki pandangan yang sama dalam melihat situasi global, untuk mendorong perdamaian.

Kedua negara ini masuk dalam kelompok negara kekuatan menengah MIKTA yang beranggotakan Meksiko, Indonesia, Korea (Selatan), Turki, dan Australia.

Namun memang perbedaan visi masing-masing negara menjadikan sebuah tantangan tersendiri sehingga sulit menghasilkan keputusan bersama. Dia mencontohkan seperti pada keberpihakan Indonesia pada Ukraina, sedangkan Korea Selatan memiliki keeratan dengan Amerika Serikat yang lebih berpihak pada Rusia.

Menurut dia, agar posisi Indonesia sebagai middle power diperhitungkan, Indonesia fokus memilih diplomasinya, seperti mengambil peran dalam persoalan Myanmar di dalam kawasan ASEAN, sebelum bermimpi menjadi penengah perang Rusia Ukraina.

“Sebab jika menjangkau terlalu tinggi, dan melupakan dasar dari kekuatan (diplomasi) yang sebenarnya, maka tidak akan berhasil,” ujarnya.

Kedepankan Soft Diplomacy

Asisten Profesor Universitas Copenhagen Jin Sang-pil menjelaskan ini berbeda dengan kekuatan negara middle power di Korea Selatan, yang identik dengan soft power.

Soft power merupakan kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dengan memikat dan meyakinkan orang lain untuk mengadopsi tujuan yang ingin dicapai. Salah satu yang dilakukan Korea Selatan yaitu melalui masifnya penyebaran gelombang seni budaya Korean Wave, dan pendidikan yang ‘menginvasi’ dunia.

“Korea Selatan menjadi pionir menjadikan soft power sebagai strategi di skala internasional,” kata Jin Sang-pil.

Jin Sang-pil juga tidak menampik bahwa forum MIKTA memang sangat rumit, dimana masing-masing negara mempunyai rencana dan visi sendiri. Sehingga sulit dalam menyatukan suara.

Namun, negara-negara yang berkumpul untuk membentuk semacam organisasi informal seperti ini tidak boleh dianggap enteng di tahun-tahun mendatang. Karena akan menjadi kekuatan yang mempunyai pengaruh besar.

Jin Sang-pil mencontohkan bagaimana Indonesia menghadapi strategi Indo Pasifik yang digagas Amerika Serikat dan strategi One Belt One Road (OBOR) atau Belt Road Initiative (BRI) yang dibuat oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping.

“Indonesia bisa mengambil manfaat dari dua strategi tersebut, juga menjadi penyeimbang di kawasan. Seharusnya, Korea Selatan juga bisa mengambil manfaat dalam dua strategi negara adidaya tersebut. Tapi Indonesia sudah punya pengalaman panjang dalam memposisikan diri sebagai negara netral. Korea tidak (punya),” kata Jin Sang-pil.

Sumber: https://mediaindonesia.com/amp/internasional/645850/menjadi-middle-power-buktikan-kekuatan-indonesia-tidak-hanya-dilihat-secara-ekonomi