Tanti Yulianingsih – Liputan6.com
Liputan6.com, Jakarta – Isu reunifikasi antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) tak lekang oleh waktu. Hingga kini masih disorot dan tak sedikit yang menanti kedua Korea bersatu, tak hanya berdamai via kesepakatan gencatan senjata.
Ibaratnya, walau berdampingan kedua Korea sejatinya tak sejalan.
Walau kerap tampil bersama dalam beberapa kesempatan seperti ajang olahraga Asian Games 2018, kedua negara tersebut masih menghadapi sejumlah perbedaan dalam beberapa kesepakatan.
Semenjak Korea terpisah dua, Korut dan Korsel kerap menujukkan ke tidak akurannya. Bahkan kedua pemimpin negara hanya bertemu dua kali sejak perang dunia II berakhir. Namun di awal 2015, titik terang perdamaian di Semenanjung Korea mulai terlihat. Ini dimulai kala Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong-un menyampaikan pidato tahun baru yang bernada positif terkait situasi semenanjung Korea.
Terobosan demi menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea sesungguhnya telah dilakukan para pemimpin Korea Selatan, bahkan hingga detik ini. Dialog demi dialog semeja dengan pemimpin Korea Utara pun digalakkan.
Namun apa dikata, tak pernah ada kata sepakat untuk reunifikasi dari Pemimpin Tertinggi Korea Utara saat ini,Kim Jong-un. Hasilnya, nihil. Hanya berbuah perpanjangan kesepakatan gencatan senjata yang sejatinya membuat Semenanjung Korea kerap memanas beberapa dekade belakangan, terkait dengan program nuklir yang dilancarkan oleh Korut.
Berkaca dari upaya-upaya tersebut, apakah reunifikasi kedua Korea bakal terjadi?
“Korea Selatan tidak lagi mengejar unifikasi langsung dengan Korea Utara,” ujar Profesor Jung-Yeop Woo, peneliti dan direktur di Asan Institute for Policy Studies dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta pertengahan Desember ini.
Menurut Profesor Woo, saat ini Korsel sudah tak berambisi untuk mencapai reunifikasi dengan Korut. Sudah lewat masa tersebut.
“Pada tahun 1950 dan 1960-an ada perdebatan tentang mencapai unifikasi dengan Korea Utara di Korea Selatan, apakah Korea Selatan perlu menjajaki Korea Utara untuk mencapai unifikasi. Tapi sekarang tidak lagi,” jelas penulis Foreign Intervention in Civil Wars (Cambridge Scholars Publishing, 2017).
Kendati demikian, sambung Profesor Woo, orang-orang Korea Selatan diperkirakan tak bakal menampik proses reunifikasi jika suatu saat nanti terjadi.
“Jadi orang Korea Selatan akan menerima unifikasi jika itu terjadi. Tetapi saya pikir tak bisa mengikuti kebijakan yang langsung bertujuan pada unifikasi,” tuturnya.
“Jadi saya tak bisa mengira apakah pemerintah Korea Selatan bakal merancang kebijakan untuk mencapai unifikasi, tetapi kami sedang mempersiapkan bahwa kami mungkin perlu menerima unifikasi (penyatuan) jika itu terjadi,” paparnya.
Saat ini, urainya, persentase pemikiran orang-orang Korea Selatan untuk mencapai reunifikasi dengan Korea Utara sudah tak seambisius dahulu. Tak lagi menggebu-gebu.
“Tuntutan unifikasi jauh lebih lemah di antara orang Korsel, terutama pada generasi muda,” ucapnya.
Sekilas Perseteruan Korea Utara-Korea Selatan
Secara teknis, Seoul dan Pyongyang berperang pada 1950-1953. Perseteruan antara keduanya berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian perdamaian.
Hubungan antar-Korea beku sejak 2010. Saat itu, sebuah kapal perang Korea Selatan tenggelam dan menewaskan 46 pelaut. Seoul melimpahkan kesalahan pada Korea Utara. Namun, Pyongyang menyangkal bertanggung jawab atas kejadian itu.
Eskalasi terbaru ketegangan keduanya terjadi lagi awal bulan Agustus 2015, ketika ledakan ranjau darat di DMZ melukai 2 tentara Korea Selatan. Lalu, peledakkan propaganda anti-Pyongyang dari pengeras suara di sepanjang perbatasan.
Kebuntuan mencapai titik krisis ketika Korea Utara menembakkan 4 peluru ke Korea Selatan. Hal itu diungkapkan pihak pemerintah Korea Selatan. Seoul pun menanggapinya dengan rentetan tembakan artileri.
Pyongyang kemudian membuat ultimatum Seoul untuk menghentikan siaran pada Sabtu sore atau mereka akan membuat aksi militer. Tetapi pada hari itu kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan pembicaraan.
Pada 27 April 2018, ditandatangani dokumen perjanjian damai bertajuk “Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity and Unification on the Korean Peninsula”. Korea Utara dan Korea Selatan kemudian bersiap melanjutkan pembahasan mengenai eksekusinya.
Salah satu topik yang kembali disinggung terkait cita-cita persatuan Semenanjung Korea adalah reconnection banyak keluarga, yang terpisah oleh garis perbatasan sejak diberlakukannya gencatan senjata pada 1953 silam.