Desca Lidya Natalia – Senior Journalist, Antara
Jakarta (ANTARA) – “Sejarah modern telah menunjukkan bahwa masyarakat yang berani mengakui ketidaktahuan dan menanyakan pertanyaan yang sulit biasanya tidak hanya lebih sejahtera tetapi juga lebih damai daripada masyarakat yang harus menerima jawaban tunggal”.
Ihwal itu, pernyataan sejarawan Israel Yuval Noah Harari dalam bukunya berjudul “21 Lessons for the 21st Century” (2018).
Alasannya menurut Harari, orang-orang yang takut kehilangan kebenaran yang diyakininya cenderung lebih keras dibanding orang-orang yang terbiasa melihat dunia dari beberapa sudut pandang.
Pertanyaan yang tidak dapat dijawab biasanya jauh lebih baik untuk seseorang dibanding jawaban atas sesuatu yang tidak dapat ditanyakan (Questions you cannot answer are usually far better for you than answers you cannot question).
Bila mengajukan pertanyaan adalah pintu masuk menuju kesejahteraan maka pertanyaan juga muncul dari Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengenai kemampuan Korea Selatan (Korsel) bertransformasi dari negara yang miskin pada dekade 1970-an menjadi negara yang maju pada abad ke-21.
“Saat saya SMA di Virgina, Amerika Serikat pada sekitar 1970-an, ada komunitas Korea yang tinggal di sana, sebagian dari mereka membuka toko dan penatu, jadi yang saya ingat mengenai orang Korea adalah mereka punya toko dan usaha penatu, tapi ternyata hanya dalam satu generasi Korsel menjadi negara modern, bagaimana bisa?” kata Dino di Jakarta, Jumat (9/4).
Dino menyampaikan hal tersebut dalam peluncuran program “The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” yang diinisiasi oleh FPCI dan Korea Foundation dengan diikuti 10 jurnalis Indonesia.
Korsel, menurut Dino, menjadi negara modern yang memproduksi barang-barang teknologi terkini dengan merek yang mengglobal, seperti Samsung dan Hyundai.
Selain itu, Dino juga menyebut Korsel punya kekuatan budaya super melalui ragam drama Korea (drakor) maupun musik Korea (K-Pop), bahkan ia pun mengaku menyukai masakan Korea.
Sementara Dubes Korea Selatan untuk Indonesia Park Tae-sung mengatakan Korsel dan Indonesia punya hubungan yang baik sejak 1973 dan berlangsung hingga saat ini. Korsel pun menurut Park menjadi investor terbesar ke-4 di Indonesia pada kuartal terakhir 2020.
“Kerja sama kedua negara mulai bidang perdagangan, investasi, ‘green economy’, dan lainnya tapi hal tersebut tidak mendapatkan publikasi yang memadai dari media. Media Indonesia kebanyakan meliput Korea soal K-drama dan K-pop, sedangkan media Korsel juga lebih menyorot Indonesia mengenai bencana dan teroris sehingga perlu lebih banyak lagi pembahasan di bidang lain,” kata dia.
Publikasi yang lebih berimbang tersebut, menurut Park, dibutuhkan agar hubungan kedua negara dapat lebih berkelanjutan.
Senada dengan Park, Direktur Direktorat Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri Santo Darmosumarto mengakui pemberitaan soal Indonesia di Korsel maupun soal Korsel di Indonesia masih terbatas.
Hal tersebut tampak dari jumlah media Indonesia yang memiliki perwakilan di Korsel hanya ada satu media dan media Korsel yang ada di Indonesia hanya dua media.
“Saya bukan tidak suka dengan K-pop dan K-drama, karena saya punya idol dan artis kesukaan juga tapi dalam hal ini perlu ada peningkatan pemahaman dan isu untuk kedua negara agar dapat meningkatkan pemahaman satu sama lain,” kata dia.
Santo pun sempat menceritakan mengenai pertanyaan unik seorang mahasiswa Korsel yang mengambil program Indonesia di salah satu universitas di Korsel.
“Seorang mahasiswa bertanya ke saya ‘Pak Santo, kenapa di Jakarta orang naik kereta di atas? Lalu saya jawab saja ‘Mungkin karena di Jakarta panas jadi mereka di luar kereta bukan di dalam’. Ini pertanyaan dari mahasiswa Korea yang belajar Indonesia di Korea,” cerita Santo sambil tertawa.
Ia mengakui pertanyaan itu diajukan beberapa tahun yang lampau, namun tetap perlu ada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai di Indonesia dan Korsel.
Di Korsel sendiri, menurut Santo, ada sekitar 34 ribu pekerja migran Indonesia sehingga membentuk komunitas Indonesia sendiri, termasuk memiliki restoran Indonesia maupun jenis usaha lainnya.
“Lalu bagaimana misalnya lewat makanan atau dari pergaulan dengan orang-orang Indonesia di Korsel, nilai-nilai Indonesia juga masuk dan memengaruhi nilai-nilai di Korsel sehingga kehadiran orang Indonesia menjadi bagian multikultural di Korsel,” ungkap Santo.
Hal tersebut sama seperti yang selama ini terjadi dari orang-orang Korea yang ada di Indonesia.
“Orang Indonesia tertarik dengan kebudayaan Korea bukan karena orang Korea memakai Hanbok, tapi karena Korea menunjukkan modernitas, menunjukkan semangat yang terus bergerak. Jadi bagaimana orang Korsel melihat Indonesia ‘cool’ seperti juga orang Indonesia melihat Korsel ‘cool’,” tambah Santo.
“Hallyu”
Harus diakui, Korsel berhasil melakukan “soft power” melalui “Gelombang Korea” atau “Hallyu” yaitu perkembangan budaya Korea untuk diekspor ke berbagai penjuru dunia.
“Hallyu” sendiri pertama kali dipopulerkan media di China dengan mencuatnya popularitas K-Drama (sinetron dari Korsel) pada 1997 berjudul “What Is Love About” yang diputar stasiun TV China, China Central Television (CCTV) dan kemudian juga digemari di Hong Kong, Taiwan, dan Vietnam. Selain itu, H.O.T juga mendapatkan popularitas di China.
Pemerintahan Presiden Kim Dae Jung (1993-1998) saat itu juga mendukung penyebaran “Hallyu” dengan slogan “Creation of the New Korea” serta mendirikan “Basic Law for the Cultural Industry Promotion” pada 1999 dan mengalokasikan dana senilai 148,5 juta dolar AS untuk mengembangkan dan menyebarluaskan budaya popular Korea melalui cara-cara inovatif.
Pada 2000, “Hallyu” pun menyebar ke negara-negara lain bahkan sampai ke Amerika Selatan, Timur Tengah, hingga Indonesia.
Di Indonesia sendiri, salah satu awal kemunculan “Korean Wave” adalah penayangan K-Drama berjudul “Winter Sonata” dan “Endless Love” di salah satu televisi swasta pada Juli 2002 yang ditonton sekitar 2,8 juta orang di lima kota besar di Indonesia. Selanjutnya lebih dari 50 drama seri Korsel ditayangkan di stasiun televisi di Indonesia.
Tidak hanya K-Drama, musik Korsel yang dikenal sebagai K-Pop juga berkembang dan popularitasnya tidak kalah dengan K-Drama. Bahkan, dapat menyaingi popularitas musik dari Barat. Grup K-Pop yang populer, antara lain Super Junior, Big Bang, Bangtan Boys (BTS), SNSD, EXO, Blackpink, dan puluhan kelompok musik lainnya.
Pada industri musik global, keberadaan mereka juga diakui seperti Big Bang pernah memenangkan Penghargaan Musik Eropa tahun 2011, mengalahkan Britney Spears untuk kategori Best Worldwide Act sedangkan BTS menjadi grup pertama yang menempatkan dua album berbeda di posisi No. 1 di Billboard 200 pada 2020.
Majalah TIME juga menobatkan BTS sebagai salah satu dari 100 orang berpengaruh di dunia berdasarkan “polling” yang dilakukan pada April 2019. BTS bersanding bersama Michelle Obama dan Alexandria Ocasio-Cortez sebagai orang berpengaruh di dunia versi TIME.
Tidak ketinggalan, film Korsel juga mendapat pengakuan di tingkat internasional melalui film “Parasite” dari sutradara Bong Joon-ho yang berhasil memenangkan penghargaan tertinggi film terbaik dalam Oscar 2020.
Parasite adalah film berbahasa non-Inggris pertama sejak Oscar berlangsung selama 92 tahun yang masuk nominasi sekaligus merebut empat penghargaan yaitu kategori film terbaik, sutradara, cerita asli, dan film internasional terbaik.
Film Parasite juga laku di bioskop yaitu meraup Rp2,29 triliun di bioskop di seluruh dunia pada periode Mei 2019 hingga 9 Februari 2020, belum termasuk penjualan film secara daring sementara biaya produksi film itu sekitar Rp161,705 miliar.
Budaya pop tersebut meliputi musik, film, seri drama TV, tarian, komik, kuliner, kosmetik, mode, gim daring, turisme, wisata medis, hingga bahasa Korea.
Kebijakan
Membanjirnya budaya Korsel tersebut juga tidak lepas dari kebijakan Presiden Kim Young Sam (1992-1997) yang disebut dengan “Segyehwa”. Secara sederhana, “segyehwa” berarti globalisasi yang sesungguhnya adalah reaksi terhadap globalisasi itu sendiri terutama di bidang ekonomi untuk menjadikan Korsel sebagai negara yang maju.
Kebijakan “Segyehwa” diterapkan, antara lain di bidang ekonomi, politik dan sosial. Salah satu aspek yang didorong adalah budaya melalui “Creativity of the New Korea” dengan tujuan menjaga kelestarian budaya Korsel yaitu agar tidak meniru budaya asing dan menjadikan budaya Korsel sebagai budaya universal yang diterima di seluruh dunia.
Kebijakan tersebut mengedepankan efisiensi kerja dan meminimalkan praktik bisnis tersembunyi. Semua institusi di Korsel diharapkan mengadopsi sistem kerja bertaraf global agar negara itu menjadi destinasi untuk berinvestasi, berwisata, dan bidang lainnya.
Keterbukaan Korsel melalui “Segyehwa” merupakan pintu bertumbuhnya sejumlah industri, termasuk hiburan yang menjadi sektor penyokong pertumbuhan perekonomian Korsel.
Menurut data Statista, pada 2018, total penjualan industri konten (content industry) yang terdiri atas K-Pop dan K-drama di Korsel dapat mencapai sekitar Rp1.555 triliun (119,6 triliun won) dan sejak 2010 rata-rata pertumbuhan ekspor industri konten (content industry) 13,4 persen.
Pemerintah Korsel juga mendukung penyebaran “Hallyu” melalui Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan atau Ministry of Culture, Sports and Tourism (MCST). MCST terafiliasi sejumlah institusi lain seperti Korea Creative Content Agency (KOCCA), Korean Tourism Organization dan Korea Foundation for International Cutural Exchange (KOFICE).
KOCCA adalah agensi yang mendukung produksi konten seperti film, gim, komik, animasi, musik, fesyen, “charater licensing”, riset dan teknologi hingga peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Kantor KOCCA juga tersebar di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Beijing, Prancis, Uni Emirat Arab, hingga Indonesia.
Sedangkan Korea Foundation for International Cultural Exchange merupakan agensi yang bertanggung jawab dalam bidang pertukaran budaya dan program akademik lainnya.
Selain di bawah MCST, masih ada kementerian lain yang bertugas untuk memajukan hubungan diplomatik Korsel, termasuk di bidang budaya.
Kementerian Luar Negeri Korsel memiliki afiliasi dengan tiga lembaga, yaitu Korea Foundation, Overseas Korean Foundation (OKF) dan Korea International Cooperation Agency (KOICA).
Pendirian KF bertujuan mendorong pemahaman yang lebih baik mengenai Korsel di tengah komunitas internasional dan meningkatkan hubungan antara Korsel dengan negara-negara lain melalui berbagai program pertukaran budaya.
Meski Indonesia sudah terpapar “Hallyu” sejak 2000-an, kantor KF di Indonesia baru dibuka pada November 2019. KF sendiri sudah memiliki delapan kantor di luar negeri, termasuk di Washington DC, Los Angeles, Berlin, Moskow, Beijing, Tokyo, dan Hanoi.
Presiden Korea Foundation Geun Lee mengakui hubungan budaya Korsel dan Indonesia mengalami peningkatan, terutama di kalangan milenial.
“Tapi seperti juga dalam relasi manusia, relasi dua negara membutuhkan waktu untuk dapat berkelanjutan dan saling mendukung satu sama lain,” kata Geun Lee dalam sambutannya.
Direktur Korea Foundation Indonesia Bae Sung Won pun mengakui bahwa pembukaan Korean Foundation di Jakarta pada 2019 termasuk terlambat.
Namun, hal itu bukan tanpa manfaat sama sekali karena menurut Bae, Korsel bukan hanya soal K-drama dan K-pop.
“Bagaimana bila K-drama dan K-pop berkurang antusiasmenya di Indonesia? Walau tentu kami tidak ingin itu terjadi, namun yang kami inginkan adalah hubungan yang berkelanjutan antara masyarakat Korsel dan Indonesia sehingga dibutuhkan pemahaman lebih dibanding K-drama dan K-pop untuk menyokong hubungan tersebut,” kata Bae.
Jadi apa saja yang dapat dibahas selain “K-drama” dan “K-pop” dalam relasi Korsel-Indonesia?
(*)Pewarta : Desca Lidya Natalia
Editor : Slamet Hadi Purnomo
COPYRIGHT © ANTARA 2021
Sumber : https://jatim.antaranews.com/berita/473518/membicarakan-korea-selain-k-pop-dan-k-drama