Desca Lidya Natalia – Antaranews.com
Jakarta (ANTARA) – Grup K-Pop BTS (Bangtan Boys) dinobatkan sebagai “Artist of the Year” dalam ajang American Music Awards (AMAs) 2021 yang berlangsung di Los Angeles, Amerika Serikat pada Minggu (21/11).
AMAs adalah salah satu acara penghargaan berdasarkan pemilihan suara penggemar terbesar di dunia.
Selain mengalahkan nama-nama besar seperti Ariana Grande, Drake, Olivia Rodrigo, Taylor Swift, dan The Weeknd untuk menjadi “Artist of the Year”, BTS juga mendapat dua penghargaan lain yaitu Favorite Pop Duo or Group dan Favorite Pop Song dengan lagu “Butter”.
Kelompok beranggotakan tujuh pemuda asal Korea Selatan itu juga menjadi satu-satunya “perwakilan” Asia yang memenangi gelaran penghargaan musik di benua Amerika.
“Kami tujuh anak laki-laki dari Korea disatukan oleh kecintaan pada musik, bertemu cinta dan dukungan dari ARMY di seluruh dunia. Semua ini adalah keajaiban. Serius, kami tidak akan pernah menganggap sepele (kemenangan) ini,” kata pemimpin BTS, Kim Nam Joon alias Rap Monster (RM) saat menerima penghargaan.
“ARMY” yang dimaksud oleh RM adalah kelompok penggemar BTS yang menurut majalah Time pada 2020 mencapai sekitar 40 juta orang yang tersebar di berbagai negar.
Penghargaan AMAs tersebut menambah panjang rentetan penghargaan yang diterima oleh grup yang memulai debut pada 2013 tersebut.
BTS di industri musik AS makin bersinar setelah merilis lagu “Dynamite” (2020). Lagu tersebut menduduki peringkat satu Billboard Hot 100, menjadikan mereka menjadi grup Korea Selatan pertama yang mencapai rekor tersebut. BTS selanjutnya terus merilis beberapa lagu hits, antara lain “Butter” dan “Permission to Dance”.
“Butter” dari BTS juga menjadi Song of the Summer pada 2021 di Billboard Hot 100 dan berhasil berada di posisi pertama Billboard Hot 100 selama 10 minggu.
Sebelumnya, ketujuh personel BTS yaitu RM, J-Hope, Jin, Suga, Jimin, V dan Jungkook juga berpidato bersama selama 7 menit di ruang sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York pada 20 September 2021. BTS menjadi Utusan Khusus Presiden Korea Selatan untuk Urusan Generasi Masa Depan dan Budaya.
Presiden Korsel Moon Jae In mengakui kekuatan BTS bersama Adorable Representative MC for Youth (ARMY) yang berjumlah puluhan juta di berbagai negara dapat dimanfaatkan untuk kampanye Social Development Goals (SDGs).
“Generasi Corona bukan ‘generasi yang hilang’ tapi ‘generasi penyambutan’, itu lebih tepat istilahnya karena bukannya takut akan perubahan, generasi ini mengatakan ‘selamat datang’ dan terus maju,” kata Kim Seok Jin atau Jin, personel BTS dalam bahasa Korea saat sidang Majelis Umum PBB.
BTS mengajak dunia, khususnya generasi muda memikirkan kondisi dunia saat ini terutama dampak pandemi COVID-19 yang menyebabkan lebih dari 4,5 juta jiwa meninggal sehingga muncul ancaman generasi hilang.
Menghadapi hal tersebut, RM berpesan agar generasi muda terus mempercayai harapan.
“Jika kita percaya pada kemungkinan dan harapan bahkan ketika hal yang tak terduga terjadi, kita tidak akan kehilangan arah, tapi menemukan (arah) yang baru,” kata RM atau Kim Nam Joon.
Setelah mereka berpidato, dalam sidang tersebut ditayangkan video lagu BTS berjudul “Permission to Dance”. Video tersebut menampilkan RM dan kawan-kawannya menyanyi sambil menari, menyusuri Assembly Hall dan kompleks gedung PBB hingga halaman luar dengan pemandangan ke arah East River yang tentu mengajak para pendengar dan penonton untuk berjingkrak mengikuti irama cepat lagu “Permission to Dance”.
Pengakuan pasar internasional terhadap BTS membuktikan dampak “Hallyu” (Korean wave) yang masih berlangsung saat ini.
Perjalanan “Hallyu”
Perjalanan “Hallyu” menurut dosen International Studies di Korea University Andrew Eungi Kim bukanlah kesuksesan yang diraih dalam semalam.
“Hallyu dimulai setidaknya sudah sejak tiga dekade lalu yaitu saat pemerintahan Presiden Kim Dae Jung (1998-2003). Presiden Kim mendapat laporan bahwa nilai penjualan film Jurasic Park sama seperti penjualan ekspor mobil Hyundai pada tahun yang sama, lalu Presiden Kim berpikir bahwa kami (Korea) harus melakukan sesuatu mengenai ‘popular culture’ ini karena bisa menghasilkan uang yang setara dengan ekspor mobil,” kata Kim dalam diskusi bertajuk “Hallyu and Its Impacts on Korea’s Cultural Diplomacy” melalui sambungan konferensi video di Jakarta, Jumat.
Andrew Eungi Kim menyampaikan hal tersebut dalam program “The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta.
“Jadi itulah momen saat pemerintahan Korea berganti fokus dari manufaktur ke bidang lain,” tambah Kim.
“Hallyu” sendiri menurut Kim merujuk pada penyebaran popularitas budaya Korea ke berbagai penjuru dunia mulai awal abad ke-21. Awalnya dimulai dari popularitas drama Korea di negara-negara Asia lalu ke belahan dunia lain dan bahkan menjadi fenomena global saat ini.
“Korea Selatan saat ini menjadi salah satu pengekspor budaya utama setelah Amerika Serikat, Inggris dan Jepang,” ungkap Kim.
Pakar Hubungan Internasional Universitas Harvard Joseph Nye mengatakan “Hallyu” adalah sebagai gelombang popularitas atas segala hal terkait Korea mulai dari fesyen, film, musik hingga makanan.
“Beberapa makanan mendunia karena lezat atau ada banyak kaum diaspora di negara tertentu, tapi ada juga makanan menjadi populer di negara lain karena budaya negara asal makanan tersebut tampak keren di mata masyarakat negara lain. Contohnya makanan Jepang populer di AS karena budaya Jepang tampak ‘fancy’, masyarakat AS suka budaya film soal samurai, ninja dan lainnya, itulah yang terjadi dengan makanan Korea saat ini,” jelas Kim.
Kim lalu membagi perjalanan “Hallyu” ke tiga babak yaitu “Hallyu 1.0” periode 1995-pertengahan 2000-an, “Hallyu 2.0” periode pertengahan 2000-an – akhir 2010 dan “Hallyu 3.0” pada saat ini hingga selanjutnya.
Korea Selatan menjadi negara pengekspor drama (sinetron) kelima terbesar di dunia bersama-sama Amerika Serikat, Inggris, Spanyol dan Argentina.
Fokus “Hallyu 1.0” menurut Kim lebih pada drama Korea (K-drama) seperti Winter Sonata (2002), Jewel in the Palace/Daejanggeum (2003-2004), My Sassy Girl (2001) yang tersebar di China, Taiwan, Jepang.
Selanjutnya “Hallyu 2.0” menunjukkan popularitas dari grup K-pop seperti H.O.T, Rain, Super Junior, Big Bang, Wonder Girls, 2PM, TVXQ, Psy, EXO, Black Pink, SuperM hingga BTS. Lagu-lagu dan penampilan grup K-Pop tersebut menyebar ke negara-negara lain di Asia hingga Amerika Utara dan Eropa.
Kim menyebut, berdasarkan data Statista (2018), Produk Domestik Bruto Korea Selatan adalah sebesar 1.619 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, Samsung menyumbang 211,94 miliar dolar AS (13,1 persen), Hyundai sebesar 85,26 miliar dolar AS (5,3 persen), LG Electronics sebesar 54,31 miliar dolar AS (3,4 persen), KIA senilai 47,36 miliar dolar AS (2,9 persen), Korean Air senilai 11,65 miliar dolar AS (0,7 persen) dan BTS 4,56 miliar dolar AS (0,3 persen).
“Jumlah uang yang dihasilkan BTS pada 2018 tersebut bahkan lebih besar dibanding total PDB 40 negara termiskin di dunia termasuk Somalia, Burundi, Liberia, Bhutan dan Sudan Selatan. Bayangkan besarnya pendapatan BTS tersebut,” ungkap Kim.
Kim juga menyebut BTS sebagai “The Beatles in 21st century” atau artis penampil terbesar saat ini.
Sedangkan Hallyu 3.0 adalah terkait gaya hidup Korea (K-lifestyle) seperti “game online”, kosmetik, makanan, fesyen, animasi. Gim daring contohnya Battlegrounds sedangkan Kosmetik seperti Lineage, IOPE, Amorepacific, Nature Republic yang menyebar ke berbagai dunia melalui media sosial dan Youtube.
Dampak “Hallyu”
Kim pun menyebutkan sejumlah dampak lanjutan dari “Hallyu” yaitu pertama, meningkatnya ekspor konten budaya Korea. Total nilai konten budaya Korea yang diekspor pada 2017 adalah mencapai 6,7 miliar dolar AS atau meningkat lima kali lipat dibanding 2005.
Bentuk konten yang diekspor adalah games (3,77 miliar dolar AS), karakter (0,64 miliar dolar AS), pengetahuan (0,63 miliar dolar AS), musik (0,5 miliar dolar AS), broadcasting (0,42 miliar dolar AS), film (43 juta dolar AS) dan produk lainnya.
Dampak lain adalah peningkatan turis internasional ke Korea Selatan yang pada 2016 ada 17,2 juta turis asing atau meningkat 3 kali lipat dibanding pada 2000.
Selanjutnya Korea Selatan pun mendapat citra yang positif karena popularitas “Hallyu” yang tampak dari meningkatnya minat untuk belajar bahasa dan budaya Korea serta permintaan untuk pembukaan mata kuliah Korea di universitas luar negeri.
Kim juga menyebut dengan adanya “Hallyu”, banyak orang Asia akhirnya menemukan bintang pop internasional yang tampak terkoneksi sebagai “sesama” Asia dibanding artis dari Amerika atau orang Barat.
“TV dan film produk AS juga mulai menjadikan aktor Asia sebagai ‘spotlight’ karena ada keyakinan ‘cool to be an Asian’ dari yang tadinya orang Asia tidak dianggap,” ungkap Kim.
Namun Kim mengingatkan meski “Hallyu” tampak “powerfull” tapi tidak berarti langsung memberikan dampak positif bagi “soft power” Korea Selatan.
Kim, mengutip Nye, mengatakan konsep “soft power” adalah konsep yang masih kabur sehingga sulit untuk diukur mana negara yang memiliki lebih banyak atau lebih sedikit “soft power”. “Soft power” sendiri menurut Nye adalah kemampuan untuk mendapatkan sesuatu melalui daya tarik dan bukan melalui paksaan atau bayaran.
“‘Hallyu’ atau ‘Korean wave’ paling bisa dipahami sebagai cara yang diambil oleh pemerintah Korea untuk mengambil ceruk penting dalam berbagai kebijakan dalam relasi Korea dengan negara lain,” ungkap Kim.
Namun Kim sendiri menegaskan bukan berarti Hallyu yang merupakan produk budaya Korea tidak penting dalam diplomasi Korea dengan negara-negara lain.
Menurut Kim, diplomasi budaya melalui Hallyu tetap penting sejauh untuk mendorong pemahaman bersama mengenai budaya negara yang satu dengan negara lain. Namun bila fokus diplomasi budaya untuk menjadikan satu budaya lebih menarik dibanding yang lain sehingga negara yang satu mau mengikuti kemauan negara lainnya, hal tersebut belum dapat dipastikan efektivitasnya.
“Saya pikir hal tersebut tidak akan terjadi,” kata Kim saat diminta pendapatnya apakah Hallyu dapat mengubah kebijakan suatu negara terhadap Korea Selatan.
Alasannya, meski “Hallyu” sangat populer di China namun pemerintah China tetap menerapkan larangan bagi agen perjalanan untuk menjual paket wisata ke Korea Selatan (pada 2017).
“Artinya bila terkait dengan kepentingan nasional, popularitas budaya bukan menjadi pertimbangan karena kepentingan nasional menjadi prioritas,” ungkap Kim.
Untuk menyokong “Hallyu”, pemerintah Korea Selatan memang mendirikan agensi untuk mendorong ekspor budaya Korea pada 2000 yaitu Center for Promotion of Cultural Industry dan mentranfromasinya jadi Korea Creative Content Agency (KOCCA) pada 2009 untuk mencari pasar bagi budaya Korea.
“Pemerintah Korea tidak pernah memberikan subsidi finansial ke satu artis tertentu. Pemerintah lebih membantu untuk menemukan outlet tepat untuk ekspor budaya Korea. Sangat besar perbedaan antara memberikan insentif pendanaan ke artis Korea dan mempromosikan konten budaya Korea ke pembeli potensial,” ungkap Kim.
Menurut Kim, pemerintah Korea lebih fokus mempromosikan konten budaya Korea sebagai produk potensial untuk diekspor.
“Pemerintah Korea sendiri tidak pernah memproyeksikan ‘Hallyu’ akan jadi seberapa besar, bahkan pemerintah Korea juga terkejut dengan besarnya dampak BTS. Kebesaran BTS bukan karena kerja pemerintah atau agensi tapi karena reaksi fansnya,” ungkap Kim.
Kim menyebut fans BTS yang disebut Army adalah faktor yang sangat penting. Fans K-pop menurut Kim tidak ada tandingannya dengan fans dari genre musik lain karena mereka sangat menurut kepada idolanya.
“Bila ada lagu baru yang dikeluarkan grup K-pop idola mereka maka para fans berupaya untuk menonton video di Youtube atau memutar di ‘platform’ musik online sesering mungkin sehingga ‘viewer’ bertambah dan perhatian media juga tertuju pada lagu tersebut. Jadi memang kelakuan fans bisa dianggap tidak normal dibandingkan misalnya dengan fans kelompok rock di AS,” jelas Kim.
Lantas apa pelajaran yang didapat dari perjalanan “Hallyu” tersebut?
Kim menyebut sejumlah negara menyamakan “budaya” dengan “kreativitas”, maksudnya untuk menekankan pentingnya kreativitas di dalam budaya.
“Bila Indonesia seperti Korea Selatan pada 20 tahun lalu, semua anggaran, semua sumber daya untuk menjaga budaya tradisional, karena memang pemerintah biasanya cenderung hanya melihat ke dalam yaitu untuk melindungi tradisi budaya. Padahal budaya tidak hanya soal melindungi tapi soal menciptakan,” ungkap Kim.
Kim mencontohkan “blue jeans” dan “coke” yang terkenal dari Amerika Serika, disukai dunia, meski keduanya bukan asli budaya AS.
“Mereka baru diciptakan di AS, itulah kekuatan ‘creation’ (menciptakan) dalam budaya, bukan preservation (memelihara). Maka pemerintah pun perlu lebih banyak memfokuskan anggaran untuk usaha-usaha kreatif di bidang budaya,” tegas Kim.
Artinya, meski belum ada studi ilmiah mengenai dampak popularitas BTS untuk mempromosikan poin-poin Sustainable Development Goals (SDGs), tapi BTS terbukti cukup membuat masyarakat globalĀ “sadar” mengenai kekuatan “Hallyu” yang mengajak badan menari meski masih dikelilingi pandemi.