Dinda Juwita/Jawa Pos
Adapun total cost share yang harus dibayar oleh pemerintah Indonesia berkisar Rp 24,8 triliun. Indonesia sendiri baru membayar 17 persen dari kewajibannya dan 83 persen belum dilunasi hingga saat ini.
Dedy melanjutkan, pihaknya masih menunggu Kementerian Keuangan untuk kelanjutan pelunasan pembayaran itu. Beberapa hal disebut menjadi kendala pelunasan pembayaran itu. Salah satunya refocusing anggaran di K/L yang digunakan untuk program prioritas lainnya yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan program lainnya, termasuk pelunasan pembayaran jet tempur tersebut.
’’Sebetulnya ini semua sudah dipikirkan, ini adalah program negara, semua pemerintahan harus mengikuti itu. Logikanya ya memang harus dibayar dulu, tapi pemerintah pasti punya skala prioritas,’’ imbuhnya.
Namun, lanjut Dedy, pemerintah masih tetap berkomitmen merampungkan kewajibannya. Meski nantinya akan berganti pemerintahan pada 2024, Dedy menyebut bahwa kerja sama RI-Korsel terkait itu akan tetap berjalan.
’’Pokoknya 2026 tenggat waktunya yang sisanya Rp 13 triliun harus selesai. Tapi kan ini belum 2026, jadinya mereka masih wait and see juga. Kita harap bisa segera,’’ tutur dia.
Sebagai informasi, ada 3 fase utama dalam program KFX/IFX. Yaitu TD phase 2010-2012, EMD phase 2014-2026, dan Production phase setelah 2026.
Pada kesempatan yang sama, Chief Representative Officer KAI Indonesia Office Woo Bong Lee menuturkan, Korsel masih menunggu pelunasan kewajiban itu. Sebab, Korsel telah menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk melanjutkan proyek jet tempur tersebut.
Dia berharap, baik RI maupun Korsel dapat mencari solusi terbaik dari persoalan yang ada. Sehingga, kerja sama kedua negara tetap berjalan baik.
’Yang saya tahu bahwa baik pemerintah Korsel maupun Indonesia terus membicarakan hal ini. Kami berharap bisa mendapat solusi terbaik. Kami tetap menunggu pembayaran dan melanjutkan kemitraan dengan Indonesia, termasuk dengan PT Dirgantara Indonesia,’’ katanya.