Riva Dessthania – CNN Indonesia
Jakarta, CNN Indonesia — Setelah 73 tahun terpisah, Korea Selatan disebut sudah tak lagi memprioritaskan upaya penyatuan kembali atau unifikasi dengan Korea Utara.
Peneliti senior di The Sejong Institute sekaligus Direktur Asan Institute for Policy Studies, Profesor Woo Jung-yeop, mengatakan pemerintahan Korsel saat ini sudah tak lagi berambisi mencapai reunifikasi dengan Korut seperti para pendahulu mereka.
“Sudah lewat masa itu. Pada medio 1950 dan 1960–beberapa tahun setelah pemisahan Korea dan Perang Korea–memang ada perdebatan tentang reunifikasi dengan Korut di pemerintahan Korsel, apakah Korsel perlu menjajaki Korut untuk mencapai reunifikasi. Tapi sekarang tidak lagi,” kata Woo dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digagas Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) beberapa waktu lalu.
Dalam acara kolaborasi dengan Korea Foundation Jakarta itu, Woo menuturkan ia juga yakin bahwa pemerintahan Korsel saat ini yang dipimpin Presiden Moon Jae-in juga tak memiliki urgensi untuk membentuk kebijakan mengejar reunifikasi dalam waktu dekat.
Menurut Woo terlalu banyak perbedaan yang harus diselesaikan oleh kedua negara dan masyarakatnya jika memang ingin mengejar unifikasi. Mulai dari kesenjangan ekonomi, sosial, hingga perkembangan budaya dan ideologi.
Meski begitu, Woo mengatakan pemerintah dan masyarakat Korsel tetap memiliki kebijakan dan kebijaksanaan bahwa mereka mendukung unifikasi jika memang itu terjadi di masa depan.
Ia menuturkan prioritas bagi bangsa Korea adalah tetap menjaga perdamaian di Semenanjung Korea.
“Keinginan untuk unifikasi semakin menipis di antara publik Korsel, terutama pada generasi muda. Saya tak yakin pemerintah Korsel merancang kebijakan untuk mengejar unifikasi langsung, tetapi kami sedang mempersiapkan bahwa kami mungkin perlu menerima unifikasi jika itu terjadi” ucap Woo.
“Jadi orang Korsel akan menerima unifikasi jika itu terjadi di masa depan, tetapi tidak mengejar langsung unifikasi,” tuturnya menambahkan.
Peran Indonesia soal Reunifikasi
Woo menganggap negara ASEAN terutama Indonesia bisa menjadi mediator netral atau honest broker untuk memfasilitasi dialog damai Korut dan Korsel.
Sebab, menurut Woo, Indonesia memiliki sejarah hubungan yang baik dengan kedua Korea. Selain itu, Indonesia juga tidak memiliki kepentingan terkait Semenanjung Korea.
Meski begitu, Woo pesimistik jika peran Indonesia bahkan negara lain dapat signifikan membantu menyatukan kedua Seoul dan Pyongyang.
Selain karena ambisi reunifikasi kian surut, Woo mengatakan Korut tak bisa dipengaruhi oleh pihak eksternal agar mengubah sikapnya, meski itu oleh China yang merupakan sekutu terdekat Pyongyang.
“Tidak ada negara yang bisa paksa Korut untuk mengubah sikap sejak Perang Dingin berakhir. Bahkan China sekali pun,” ucap Woo.
“Negara ASEAN seperti Indonesia mungkin bisa mengambil peran dalam memfasilitasi dialog kedua Korea sebagai honest broker karena kalian memiliki sejarah hubungan dengan kedua Korea. Tapi saya tak yakin itu pun akan berhasil di masa depan,” paparnya menambahkan.
Secara teknis, Korut dan Korsel masih berperang sejak 1950. Perseteruan kedua saudara ini berakhir 1953 hanya dengan kesepakatan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Sejak gencatan disepakati, relasi Korut dan Korsel naik turun. Korsel merasa terancam dengan ambisi pengembangan senjata nuklir dan rudal Korut sehingga meminta bekingan dari Amerika Serikat.
Sementara itu, Korut merasa Korsel kerap menerapkan kebijakan bermusuhan salah satunya dengan membentuk aliansi pertahanan dan menggelar latihan militer bersama AS.
Pada April 2018, Korut-Korsel melakukan terobosan dengan menggelar pertemuan antara kedua pemimpin untuk pertama kalinya sejak 11 tahun. Presiden Moon Jae-in bertemu dengan Pemimpin Korut, Kim Jong-un, di zona demiliterisasi di perbatasan kedua Korea.
Namun, sejak itu, relasi kedua Korea naik turun lagi, terutama setelah kesepakatan denuklirisasi antara AS dan Korut mandeg.
Pada September lalu, Korut mengajukan sejumlah syarat bagi AS dan Korsel sebelum Pyongyang mau berunding mengakhiri Perang Korea 1950-1953.
Syarat itu diajukan Korut setelah Presiden Moon mengulangi seruannya lagi kepada Korut untuk mengakhiri Perang Korea secara resmi melalui perjanjian damai.
(rds/rds)