Riva Dessthania – CNN Indonesia
Jakarta, CNN Indonesia — KTT soal perubahan iklim atau COP26 di Glasgow telah usai. Para pemimpin dunia didesak untuk bertindak lebih banyak lagi guna mencegah perubahan iklim yang semakin memburuk.
Salah satu jurus yang terus digaungkan untuk mengurangi faktor perubahan iklim adalah mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab utama pemanasan global.
Dalam COP26 ratusan negara pun kembali menegaskan janji mereka untuk dapat mencapai target nol emisi karbon dalam beberapa dekade mendatang.
Salah satu upaya mencapai target nol emisi itu adalah dengan mempercepat peralihan penggunaan energi dan pembangunan dengan teknologi yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.
Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) dari Korea University, Chung Suh-yong, menganggap Korsel dapat mengisi kesenjangan yang dirasakan Indonesia selama ini ketika bekerja sama dengan negara maju terkait masalah perubahan iklim.
“Karena salah satunya faktor sejarah yang hampir sama, di mana kedua negara sama-sama pernah terpuruk akibat krisis ekonomi, Korsel memiliki pengalaman unik sehingga dapat merasakan kesulitan dan tantangan apa yang dirasakan RI dalam menangani masalah perubahan iklim, termasuk soal transfer teknologi,” kata Chung workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation beberapa waktu lalu.
Menurut Chung, kerja sama dalam hal menciptakan teknologi ramah lingkungan tidak semudah bekerja sama di bidang lainnya. Sebab, teknologi yang ada belum tentu bisa sama diterapkan dengan maksimal oleh semua negara.
Sementara itu, Chung menilai Korsel memiliki posisi yang dapat memahami bahwa setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki tantangan dan kondisi yang berbeda dalam menerapkan teknologi ramah lingkungan serta ekonomi hijau.
Selain itu, Chung menganggap Seoul dan Jakarta memiliki ambisi yang sama soal penanganan perubahan iklim. Ia mengatakan sektor kehutanan, kelautan, dan budidaya mangrove Indonesia selama ini menjadi yang paling disorot Korsel terkait masalah lingkungan.
“Sektor kehutanan memiliki banyak potensi. Indonesia memiliki banyak hutan hujan. Korea memiliki pengalaman yang sangat bagus tetapi ukuran lahan untuk eksplorasi terlalu kecil. Jadi kita bisa menggunakan pengalaman Korea sebagai uji coba, sehingga kita bisa memanfaatkan pengalaman dengan mitra hebat kita termasuk Indonesia,” ucap Chung.
Chung juga memaparkan pandangannya kenapa Korsel bisa memiliki kebijakan soal penanganan iklim yang komprehensif. Ia beranggapan salah satu kuncinya adalah konsistensi kebijakan dari satu pemimpin ke pemimpin selanjutnya.
“Tidak peduli pemerintahan mana yang sedang menangani di masa lalu, sekarang dan di masa depan,” papar Chung.
Chung menuturkan kebijakan ekonomi hijau Korsel pertama kali digagas oleh Presiden Lee Myong-bak. Saat itu. Korsel mendeklarasikan komitmen sukarela pertamanya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta memperkenalkan ETS (Emission Trading Schemes).
Setelah Lee lengser, penerusnya, Presiden Park Geun-hye melanjutkan visi Lee dengan menerapkan kebijakan ekonomi kreatif yang fokus menerapkan teknologi yang rendah karbon dan lebih rama lingkungan.
Dan kini, di era kepemimpinan Presiden Moon Jae-in, Korsel fokus memperkenalkan kebijakan transisi energi.
“Saya berharap Indonesia juga bisa menerapkan (konsistensi) ini,” papar Chung.