Bambang Trismawan / Rakyat Merdeka Newspaper
Itulah beberapa catatan penting yang terangkum dalam workshop bertajuk Connecting Cultures: Unveiling the Power of South Korea’s Public Diplomacy in Strengthening Seoul-Jakarta People-to-People Relations, yang digelar di Bengkel Diplomasi, Mayapada Tower, Jakarta, Selasa (12/9).
Lokakarya yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation ini, menghadirkan dua narasumber dari Korsel.
Mereka adalah Kepala Center for ASEAN-Indian di Institute of Foreign Affaris and National Security Prof Choe Wongi, dan jurnalis dari The Hankook Ilbo, Jaeyeon Moon. Keduanya menyampaikan pemaparan secara online.
Lokakarya ini diikuti 15 jurnalis profesional yang tergabung dalam program Indonesian Next Generation on Korea Batch 3. Ini adalah lokakarya sesi kedua dari 6 lokakarya yang rencananya digelar sebelum para jurnalis berkunjung ke Korsel.
Prof Choe mengawali pemaparan dengan menceritakan KASI. Ini adalah kebijakan baru Presiden Korsel, Yoon Suk Yeol, yang dilantik pada Mei 2022. Kebijakan ini diresmikan Presiden Yoon pada Desember 2022, dan dirancang khusus untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Choe, kebijakan KASI lebih progresif dan komprehensif dibanding kebijakan luar negeri sebelumnya, yaitu New Southern Policy (NSP), yang diprakarsai Presiden Korsel sebelumnya, Moon Jae In, pada 2017.
Apa sih perbedaannya? Kata dia, NSP adalah kebijakan yang fokus meningkatkan kerja sama ekonomi dengan negara di Asia Tenggara, terutama investasi dan perdagangan. Korsel mencoba mengalihkan perhatian dari yang awalnya fokus pada kerja sama dengan China, Jepang dan Amerika Serikat, ke kawasan ASEAN.
Kebijakan ini bukan tanpa hasil. Data Kementerian Perdagangan dan Kementerian Investasi mengungkap, kebijakan ini berhasil meningkatkan volume perdagangan Indonesia-Korsel dari 19,3 miliar dolar AS pada 2020 menjadi 20,57 miliar pada 2022.
Investasi dari Korsel pun mengalir deras. Dari 2017 hingga 2021, total investasi Korsel ke Indonesia mencapai 8,18 miliar dolar AS, menjadikan Korea sebagai investor ketiga terbesar di Indonesia. Selain itu, Kebijakan ini juga dianggap berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat di ASEAN terhadap Korsel, dan sebaliknya.
Korsel misalnya membangun Rumah Kebudayaan ASEAN di Busan. Namun, lanjut Choe, untuk urusan keamanan, seperti bagaimana situasi Laut China Selatan yang memanas di tengah persaingan China dan Amerika Serikat, Korsel tidak begitu proaktif atau cenderung diam.
Sementara KASI, lanjut Choe, fokusnya tidak hanya pada perdagangan dan investasi. Namun juga mencakup politik dan keamanan, kerja sama infrastruktur digital, dan perubahan iklim. Selain itu, juga peningkatan hubungan masyarakat (people-to-people), dan kerja sama sosio kultural.
Melalui kebijakan ini, Korsel melihat ASEAN sebagai partner strategis untuk mewujudkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di Semenanjung Korea. Nah, kata dia, dengan kebijakan KASI ini Korsel menjadi lebih proaktif mempromosikan perdamaian di kawasan.
Karena itu, saat ada insiden antara Coast Guard China dengan Filipina, di Laut Filipina Barat Agustus lalu, Korsel ikut menyampaikan keprihatinan. Ini adalah pernyataan sikap pertama Korsel terhadap persoalan di Laut China Selatan, atau yang sejak 2017 Indonesia menyebutnya sebagai Laut Natuna Utara.
“Prioritas utama di balik kebijakan ini (KASI) adalah Korea tidak lagi mengesampingkan masalah strategis dan keamanan yang nyata,” ungkapnya.
Perbedaan lain, lanjut Choe, dengan kebijakan KASI ini Korsel tidak hanya “menoleh” ke Asia Tenggara. Namun juga menganggap kawasan ASEAN sejajar dengan negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China. Dengan hal tersebut, tentu akan membuka peluang terjalinnya kerja sama Korsel dengan negara di ASEAN, termasuk Indonesia.
Apalagi, lanjut dia, Indonesia berperan sangat penting di ASEAN. Tahun ini, Indonesia menjadi Ketua negara ASEAN, dan baru saja sukses memimpin KTT ASEAN, KTT ASEAN Three, dan sedang membuat sejarah baru dengan memprakarsai platform untuk Kawasan Indo-Pasifik yang Inklusif (AIPF).
“Prospek dalam kemitraan Korea dengan ASEAN, Korea dengan Indonesia akan sangat cerah. ASEAN punya potensi ekonomi dan sosial yang sangat besar. Korea bisa membantu mengotimalkan potensi itu,” kata Choe.
Dia mengungkapkan, kebijakan KASI ini dirilis tanpa memiliki agenda tersembunyi. Korsel hanya ingin menjalin kemitraan yang lebih besar di ASEAN, termasuk di Indonesia. Ia lalu mengungkap data 10 juta wisatawan dari Korsel berkunjung ke kawasan Asia Tenggara.
“Ada banyak kepentingan dan bermanfaat bagi kepentingan kedua negara untuk menjalin kerja sama ekonomi yang lebih besar. Serta memperkuat pertukaran antar manusia dengan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia dan Korsel tidak memiliki beban sejarah, sehingga dapat meningkatkan hubungan yang lebih proaktif lagi,” paparnya.
Choe juga mengomentari pertemuan bilateral antara Presiden Jokowi dan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol di Istana Presiden, Jakarta, Jumat (8/9). Menurut dia, pertemuan yang digelar sekaligus untuk merayakan hubungan diplomatik 50 tahun Korsel-Indonesia itu, berjalan hangat dan sukses, serta menghasilkan beberapa kesepakatan, termasuk program pertukaran budaya.