Tanti Yulianingsih – Liputan6.com
Liputan6.com, Jakarta – Untuk mengatasi perubahan iklim, sudah saatnya semua pihak bergerak melakukan tindakan yang lebih konkret. Tak hanya di Indonesia, namun juga dalam skala global, umat manusia perlu bergegas mencari cara memperlambat krisis tersebut.
Salah satu cara yang tengah digalakkan banyak negara yakni melalui strategi low carbon atau rendah karbon. Upaya tersebut dinilai ramah bagi lingkungan dan cocok untuk menangani masalah krisis perubahan iklim.
Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) diyakini satu tujuan dalam hal tersebut. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.
Korea pun, di bawah green policy (kebijakan hijau), mengembangkan kebijakannya sendiri di bawah tema netral karbon dan kemudian memperbarui Nationally Determined Contribution (NDC) dan diserahkan ke UNFCCC pada Desember 2020.
Sejalan dengan hal tersebut, kedua negara diyakini dapat bergandeng tangan untuk menangani krisis perubahan iklim. Sejumlah peluang besar membangun kerja sama antara Indonesia untuk berkolaborasi dengan Korea pun terbuka.
Forestry (sektor kehutanan), kelautan dan budidaya mangrove (bakau) Indonesia yang paling jadi sorotan bagi Korea. Alasannya, karena dinilai memiliki banyak potensi bermanfaat bagi kedua negara.
“Sektor kehutanan memiliki banyak potensi. Indonesia memiliki banyak hutan hujan. Korea memiliki pengalaman yang sangat bagus tetapi ukuran lahan untuk eksplorasi terlalu kecil. Jadi kita bisa menggunakan pengalaman Korea sebagai uji coba, sehingga kita bisa memanfaatkan pengalaman dengan mitra hebat kita termasuk Indonesia,” ujar Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, Suh-Yong Chung pada workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta awal September 2021.
Korea memiliki catatan yang sangat baik dalam hal penghijauan di dunia. Korea Selatan juga berpengalaman baik dalam Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Sejauh ini telah bekerjasama dengan berbagai proyek kehutanan Indonesia.
Menurut Chung, kerja sama tersebut dapat memicu penciptaan lapangan kerja di Indonesia, melestarikan kawasan kehutanan, mengurangi emisi gas rumah kaca hingga menciptakan transfer teknologi lapangan kerja dan pembiayaan iklim di luar Indonesia.
“Lingkungan laut di Indonesia juga sangat penting,” sambung Suh-Yong Chung.
“Bukan hanya masalah ekosistem yang berbasis isu konservasi, tapi juga bisa terkait mitigasi, pengurangan gas rumah kaca misalnya mangrove yang merupakan isu yang sangat mewah,” imbuhnya.
Pada Juni 2021, Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan kembali memperkuat hubungan kerja sama dalam bidang riset teknologi kelautan dan perikanan melalui Korea-Indonesia Ocean ODA Research Equipment Handover Ceremony.
Korsel melalui Kementerian Samudera dan Perikanan memberikan alat riset teknologi kelautan dan perikanan yang nantinya akan digunakan oleh Indonesia melalui Institut Teknologi Bandung (ITB).
Penyerahan alat riset menjadi tindak lanjut kesepakatan antara Kementerian Samudera dan Perikanan Korsel dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang mendirikan Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) pada 2018.
Selain itu, Suh-Yong Chung menjelaskan bahwa melalui potensi mangrove Indonesia bisa memperoleh pendanaan dari negara asing. “Jika Anda merancang kebijakan negara untuk mempromosikan isu-isu terkait mangrove, mudah bagi Anda untuk mendapatkan pendanaan dari GCF, ADB, Bank Dunia atau Korea,” ungkapnya.
Pentingnya Konsistensi Kebijakan Pemerintah
Pada kesempatan tersebut, Suh-Yong Chung juga menuturkan bagaimana Korea bergulat untuk menangani isu perubahan iklim. Menurutnya, konsistensi tiga masa pemerintahan terakhir jadi kunci utama.
“Tidak peduli pemerintahan mana yang sedang menangani di masa lalu, sekarang dan di masa depan,” ucapnya.
Saat itu, Korea di tingkat internasional pernah membuat semacam partisipasi aktif dalam mengatasi tantangan global perubahan iklim. Hal itu dilakukan saat pemerintahan mantan presiden Lee Myeong-bak pada tahun 2008, di mana kebijakan hijau rendah karbon adalah mesin masa depan pertumbuhan Korea.
Di bawah pemerintahan Lee Myeong-bak, kebijakan rumah kaca rendah karbon tercipta. Korsel membuat serangkaian kontribusi kepada masyarakat internasional untuk mengatasi perubahan iklim. Sebagai contoh, Korea mendeklarasikan komitmen sukarela pertama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta memperkenalkan ETS (Emission Trading Schemes) dan pada saat itu Global Green Growth Institute didirikan.
Pada pemerintahan berikutnya, Park Geun-hye juga membuat langkah lebih lanjut dalam hal fokus pada teknologi rendah karbon. Tema kebijakan utama pemerintahannya adalah ekonomi kreatif, di bawah kebijakan itu ia banyak menekankan pada isu-isu teknologi.
Sekarang, di era Moon Jae-in, dia memperkenalkan kebijakan transisi energi. Semua kebijakan itu, menurutnya, tidak bakal berkesinambungan tanpa konsistensi sebelumnya.
Bagi Chung, konsistensi kebijakan pemerintah dalam jangka panjang itu penting. Ia pun berharap Indonesia bisa melakukannya.
Ketika Korea sangat miskin mungkin lebih miskin dari Indonesia sebelum tahun 1960, teknologi pertama yang Korea ingin fokuskan oleh adalah kehutanan, pertanian, dan tekstil, kemudian industri berat. Itu dikembangkan secara bertahap.
“Dalam rangka membuat masyarakat lebih sejahtera Anda harus membangun kapasitas untuk mengembangkan dan mengkomersialkan teknologi penting yang dapat menciptakan lapangan kerja, dengan demikian menarik investasi sehingga negara dapat maju di dunia,” jelas Chung.
Bagaimana dengan Indonesia untuk membuat masyarakat lebih sejahtera, apa mesin pertumbuhannya?
“Jika Indonesia merasa penting dalam hal keanekaragaman hayati dan isu tata guna lahan kehutanan. Melestarikan kehutanan juga sangat penting dalam hal teknologi,” ungkapnya.
Chung menuturkan bahwa bukan hanya soal menjaga lingkungan, namun upaya itu memiliki potensi besar untuk membuat seluruh masyarakat lebih sejahtera.
Baginya, karena Indonesia sangat menekankan pentingnya energi terbarukan. Kebijakan yang banyak ditekankan terkait itu adalah realisasi kebijakan transisi energi. Misalnya seperti beralih ke moda transportasi yang lebih efektif dan ramah lingkungan sehingga berdampak positif bagi iklim Bumi.
Untuk mengurangi emisi karbondioksida, saran Chung, Indonesia bisa beralih ke mobil listrik daripada mobil disel atau transportasi massal fast train (kereta cepat).
“Ini ramah lingkungan dan lebih murah,” tegas Chung.
Saat ini Korea Selatan juga tengah mengembangkan mobil hidrogen, yang diyakini akan lebih murah dari pada mobil listrik.