Fenomena Hallyu dan Mesin Uang Industri Hiburan Korea Selatan

Ana Noviani – Bisnis.com


Girl grup Korea Selatan, BlackPink berpose usai tampil di festival musik Coachella, Amerika Serikat, pada 2019. – YGFamily

Bisnis, JAKARTA—Pandemi Covid-19 nyatanya tidak memudarkan gemuruh hallyu di penjuru dunia. Lagu-lagu BTS dan Blackpink yang merajai tangga lagu global hingga booming serial Squid Game menjadi bukti tingginya antusiasme publik terhadap produk-produk industri hiburan Korea Selatan dan besarnya perputaran uang di dalamnya.

“Selama pandemi ini, gue justru makin suka sama drama Korea. Semua drama atau film yang menang award gue tonton, hiburan banget,” ujar Feni yang merupakan seorang karyawan swasta ketika berbincang dengan Bisnis, baru-baru ini.

Feni mengaku mulai “terpapar” gelombang Korea sejak masa kuliah. Saat itu, dia mulai menonton serial drama Korea lewat dvd seperti Full House dan Endless Love, serta acara ragam (variety show) seperti Family Outing dan Running Man.

Namun, dia merasa menjadi makin menyukai produk-produk budaya pop Korea dalam 2 tahun terakhir. Tak hanya menikmati K-drama, K-movie, dan K-pop, Feni bahkan juga mengeksplorasi produk makanan hingga kosmetik asal Negeri Ginseng.

“Sekarang gue langganan dua platform OTT, Netflix dan Viu, demi nonton drama Korea,” imbuhnya.

Lain lagi dengan Elga yang menjadi penggemar boy group Korea Selatan Big Bang dan Winner tetapi jarang menonton drama Korea. Sebagai fangirl yang loyal, dia tak segan untuk merogoh kocek demi membeli tiket konser dan album musisi kesayangannya.

“Gue terakhir maraton konser 2018-2019, ada Kpopfest karena pengen lihat Winner, terus juga Red Velvet, Supershow. Kalau merchandise, gue beli albumnya Winner, Mino karena ada edisi eksklusif, dan beberapa yang lain,” paparnya.

Istilah Hallyu atau Korean Wave yang saat ini populer sejatinya merupakan hasil dari perjalanan panjang industri hiburan Korea Selatan selama lebih dari 3 dekade. Saat awal 1990an, Korea Selatan memutar otak untuk melebarkan sayap dari ekonomi yang mengandalkan manufaktur menuju industri lainnya.

Di sela-sela periode memimpin Blue House pada 1998-2003, Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung mendapat laporan bahwa nilai penjualan Jurasic Park, sama seperti penjualan ekspor mobil Hyundai pada tahun yang sama. Larisnya penjualan film Hollywood menginspirasi Kim untuk memonetisasi budaya populer Korea Selatan ke dunia internasional.

Andrew Eungi Kim, Professor of International Studies at Korea University, memaparkan tiga fase perkembangan hallyu yang telah bergulir.

“Hallyu berawal dari K-drama, kemudian meluas sehingga saat ini Korea menjadi negara pengekspor budaya populer terbesar di dunia bersama Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Mulai dari film, musik, makanan, hingga fesyen,” tuturnya dalam workshop “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang dilaksanakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation Jakarta, baru-baru ini.

Drama dan film Korea yang menjadi pembuka jalan gelombang pertama popularitas Korea atau Hallyu 1.0, antara lain Winter Sinata (2001/2002), Jewel in the Palace (2003/2004), dan My Sassy Girl (2001).

Berkat perkembangan industri perfilman yang pesat, Korea menjadi top eksportir drama televisi dalam 5 tahun terakhir bersama Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, dan Argentina.

Babak kedua Korean Wave atau Hallyu 2.0, kata Kim, berlangsung pada 2000 hingga akhir 2010an dengan fokus pada K-pop mulai dari H.O.T dan Shinhwa, hingga Super Junior, 2PM, Wonder Girls, Big Bang, 2NE1, Psy, serta sekarang BlackPink, NCT, dan BTS.

“BTS sukses dengan penjualan album, konser internasional, dan lagu-lagunya merajai chart global. Mereka menghasilkan banyak uang bahkan nilainya diestimasi US$4,65 miliar pada 2018,” papar kim.

Kendati sulit divalidasi, nilai itu disebut Kim setara dengan 0,3% dari total produk domestik bruto (PDB) Korea Selatan senilai US$1.619 miliar pada 2018.

“Kalau nilai itu benar, pendapatan BTS pada 2018 melampaui PDB 40 negara termiskin di dunia, seperti Somalia, Burundi, Liberia, Bhutan, dan Sudan Selatan,” ungkapnya.

Fase ketiga atau Hallyu 3.0 menyorot soal gaya hidup Korea atau K-lifestyle seperti online games, kosmetik, makanan, fesyen, dan animasi. Gim besutan developer Korea Selatan yang populer antara lain Battlegrounds dan Lineage.

Sementara itu, pecinta skincare Negeri Ginseng pasti sudah tidak asing dengan merek kosmetik IOPE, Nature Republic, Innisfree, Sulwhasoo, Laneige, dan COSRX. Tak sedikit dari merek kosmetik Korea Selatan yang kini sudah memiliki toko resmi di platform e-commerce Indonesia untuk memperluas kanal distribusi daring. Perusahaan kosmetik Korea Selatan, Amorepacific berpartisipasi dalam pameran China International Import Expo ke-4./apgroup.com

NILAI EKONOMI

Kim menyebut Korean Wave memiliki dampak besar terhadap Korea Selatan, khususnya di sektor ekonomi. Pertama, nilai ekspor konten budaya Korea melonjak lima kali lipat dari 2005 menjadi US$6,7 miliar pada 2017.

Saat itu, imbuh Kim, ekspornya didominasi oleh konten gim (US$3,77 miliar), karakter (US$640 juta), informasi pengetahuan (US$630 juta), musik (US$500 juta), dan penyiaran (US$420 juta). Di sisi lain, kontribusi ekspor animasi dan film tercatat hanya US$135 juta dan US$43 juta.

Kedua, kenaikan turis internasional ke Korea. Pada 2000-2016, jumlahnya meningkat lebih dari 3 kali lipat menjadi 17,2 juta wisatawan mancanegara.

“Ketiga, Hallyu juga membentuk citra yang lebih positif tentang Korea dan meningkatkan soft power Korea,” ujar Kim.

Keempat, Korean Wave meningkatkan minat untuk belajar bahasa dan budaya Korea di universitas dan Korean Cultural Center di luar negeri. Kim juga menyebut Hallyu juga menjadi sumber kebanggan nasional bagi banyak warga Korea.

Gelombang popularitas budaya Korea membuat pundi-pundi perusahaan yang terlibat di bidang ini terus menggemuk. Tengok saja pendapatan agensi yang menaungi Bangtan Boys, Big Hit Entertainment.

Sejak BTS merintis popularitas pada 2016, pendapatan Big Hit Entertainment terus melesat. Merujuk data Statista, pendapatan Big Hit naik dari 35,22 miliar won pada 2016 menjad 301,37 miliar won pada 2018 dan 796,28 miliar won atau sekitar Rp9,55 trililun pada 2020.

Kondisi yang hampir senada dialami oleh agensi artis lainnya, seperti JYP Entertainment, SM Entertainment, dan Cube Entertainment.

Dinamika terbaru di industri hiburan Korea Selatan berembus dari rencana akuisisi CJ ENM terhadap 80% saham perusahaan studio film Hollywood, Endeavor Content.

Melansir The Korea Times, salah satu perusahaan media dan hiburan terbesar di Korea Selatan itu harus menyiapkan setidaknya harus menyiapkan dana US$775 juta atau sekitar 920 miliar won untuk mencaplok Endeavor.

Tak hanya itu, CJ ENM juga dikabarkan akan mengakuisisi 18,72% saham SM Entertainment yang menaungi EXO dan Super Junior. Nilai akuisisi perusahaan milik Lee Soo-man itu diperkirakan sekitar 600 miliar won hingga 700 miliar won.

“Kami mendorong investasi skala besar untuk memperbesar intangible asset dan transformasi digital di level grup pada 2023. Kami sudah mengamankan kapabilitas finansial yang cukup untuk mencari sumber pertumbuhan baru dan menciptakan sinergi,” tutur manajemen CJ ENM.

Sebelumnya, CJ Group Chairman LEe Jay-Hyun menyampaikan komitmen untuk mengucurkan investasi lebih dari 10 triliun won dalam 3 tahun ke depan untuk fokus pada empat mesin pertumbuhan, yakni di bidang budaya, platform, kesehatan, dan keberlanjutan.

Hingga akhir 2020, CJ ENM memiliki total aset 6,28 triliun won. Adapun, total penjualannya dalam 3 tahun terakhir tercatat sebesar 2,36 triliun won pada 2018, meningkat menjadi 3,78 triliun won pada 2019, tetap tergerus menjadi 3,39 triliun won pada 2020 akibat terimbas pandemi Covid-19.

Di bisnis kosmetik dan perawatan tubuh, Amorepacific melaporkan total penjualan luar negeri mencapai 1,74 triliun won pada 2020. Jumlah itu setara dengan hampir 40% dari total penjualan Amorepacific pada tahun lalu yang mencapai 4,43 triliun won.

“Kendati pandemi, Amorepacific membidik China dan Asia Tenggara sebagai pasar potensial dengan fokus pada merek global yang menjadi flagship perseroan,” tulis manajemen Amorepacific dalam keterangan resminya.

Perusahaan over-the-top (OTT) global, Netflix Inc. juga memetik buah manis dari fenomena Hallyu. Perusahaan bermarkas di California, Amerika Serikat itu melaporkan peningkatan laba dan pelanggan pada kuartal III/2021 yang melebihi ekspektasi analis berkat serial streaming paling populer di dunia saat ini, Squid Game.

Serial asal Korea Selatan tersebut telah ditonton oleh 142 juta rumah tangga, hanya dalam 4 minggu pertama sejak peluncurannya.

Manajemen Netflix menjelaskan, hal tersebut membuat Squid Game menjadi seri terbesar dalam sejarah Netflix. Serial ini menempati peringkat pertama di 94 negara, termasuk AS.

Mengutip Los Angeles Times, Rabu (20/10), popularitas Squid Game membantu Netflix menambah 4,38 juta pelanggan dari total 214 juta pelanggan pada kuartal ketiga tahun ini, naik dari 2,2 juta dibanding tahun sebelumnya.

Sejalan dengan penambahan pelanggan, pendapatan bisnis streamer naik 16% menjadi US$7,48 miliar pada kuartal III/2021. Laba bersih Netflix juga naik menjadi US$1,45 miliar dari US$790 juta pada periode sama tahun lalu.

“Squid Game adalah representasi dari apa yang kami lihat adalah eksekusi bertahun-tahun pada strategi yang direncanakan dengan sangat baik,” kata Michael Morris, Direktur Pelaksana Senior di Guggenheim Partners, seperti dilansir Los Angeles Times.

Squid Game dirilis pada 17 September 2021 dengan menelan biaya Netflix US$21,4 juta. Serial populer yang disutradarai oleh Hwang Dong-hyuk dan dibintangi Jung Ho-yeon dan Lee Jung-jae itu telah mengkonfirmasi kelanjutan Squid Game musim kedua.

Kendati perputaran uang di industri hiburan Korea bernilai jumbo dan terus berkembang, kontribusinya terhadap ekonomi negara yang kini dipimpin oleh Presiden Moon Jae-in itu tidak sesignifikan industri manufaktur dan teknologi.

Mengutip Statista (2018), kontribusi terbesar PDB Korea Selatan bersumber dari Samsung (13,1%), Hyundai (5,3%), LG Electronics (3,4%), KIA (2,9%), dan Korean Air (0,7%).

“Pemerintah Korea tidak pernah memproyeksikan Hallyu akan menjadi seberapa besar, bahkan pemerintah juga terkejut dengan besarnya dampak BTS,” imbuh Andrew Eungi Kim.

Kendati demikian, Hallyu diakui merupakan sarana diplomasi budaya yang cukup efektif. Pemerintah Korea tidak memberikan subsidi finansial atau insentif kepada industri hiburan Korea, tetapi terus mempromosikan konten budaya Korea ke pasar potensial.


Sumber: https://kabar24.bisnis.com/read/20211222/19/1480638/fenomena-hallyu-dan-mesin-uang-industri-hiburan-korea-selatan