Deputi Direktur Asia Timur Kemlu RI Vahd Nabyl A Mulachela menyampaikan paparan dalam lokakarya “Building Bridges: Assessing the Past and Shaping the Future of Indoensia-Korea Relations” di Jakarta, Rabu (2/8/2023). (ANTARA/Yashinta Difa)
Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Indonesia menetapkan ekonomi hijau sebagai salah prioritas dalam kerja sama dengan Korea Selatan di masa depan.
“Indonesia mempunyai target untuk mengembangkan ekonomi hijau, sehingga pertumbuhan ekonomi kita bisa tetap memperhatikan kelestarian lingkungan—dan bagaimana Korea bisa berkontribusi dalam proses tersebut,” kata Deputi Direktur Asia Timur Kementerian Luar Negeri RI Vahd Nabyl A Mulachela dalam lokakarya mengenai hubungan Indonesia-Korea di Jakarta, Rabu.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) itu, dia memaparkan tiga tantangan utama yang ingin ditangani melalui kerja sama di bidang ekonomi hijau yaitu soal perubahan iklim, meningkatnya polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Ia mencatat bahwa Indonesia dan Korsel bersama-sama mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terutama yang terkait dengan ekonomi hijau.
Kedua negara juga telah berupaya memperluas kerja sama melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) tentang investasi hijau yang ditandatangani kementerian/lembaga terkait ketika kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke Korsel tahun lalu.
“Pada dasarnya kerja sama ini bertujuan untuk menangani masalah lingkungan melalui mitigasi dan adaptasi,” kata Nabyl.
Korsel disebutnya terus gencar menawarkan kerja sama untuk memitigasi emisi karbon, dengan menjalin MoU tentang perdagangan karbon.
Namun, ujar dia, saat ini Indonesia perlu merampungkan aturan di dalam negeri mengenai perdagangan karbon sebelum bisa bergabung dalam jaringan perdagangan karbon global.
“Perubahan iklim adalah salah satu aspek yang Korsel ingin kerja samakan dengan negara lain, termasuk dengan Indonesia sebagai mitra prioritas,” tutur Nabyl.
Sementara itu, dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Korea University Profesor Jae Hyeok Shin menilai pengembangan ekosistem kendaraan listrik (EV) menjadi sektor paling menonjol dalam kerja sama Indonesia-Korsel.
Dalam hal ini, dia merujuk pada investasi yang ditanamkan oleh perusahaan otomotif Korsel, Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution, untuk membangun pabrik produksi baterai EV dengan total investasi 1,1 miliar dolar AS (sekitar Rp16,7 triliun).
Pembangunan pabrik direncanakan selesai pada 2023, dan pada semester pertama 2024 akan memproduksi baterai untuk mobil listrik Hyundai dan Kia.
“Mereka akan membantu Indonesia memproduksi dan menjual mobil listrik di dalam negeri, dalam skala besar,” kata Shin.
Pemerintah Korsel juga mendukung upaya Indonesia dalam mengembangkan infrastruktur EV, dengan hibah 15 juta dolar AS (sekitar Rp227,8 miliar) kepada Pemerintah Indonesia untuk pelaksanaan proyek tersebut.
Ketika mengunjungi Indonesia pada Mei lalu, Wakil Menteri Pertama Perdagangan, Industri, dan Energi Korsel Jang Young-jin bahkan mengatakan bahwa kerja sama dalam industri EV adalah “kunci dalam industri masa depan” kedua negara.
Ia meyakini Indonesia akan menjadi pusat EV di kawasan Asia dengan investasi yang dilakukan oleh perusahaan otomotif dan baterai yang memimpin pasar Korsel.