Ana Noviani – Bisnis.com
Bisnis, JAKARTA — Kampanye ekonomi sirkular mulai didengungkan di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Saat Indonesia masih merintis konsep ekonomi hijau itu, Korea Selatan sudah melaju menjadi salah satu negara dengan ekosistem waste management yang unggul di Asia.
Mengutip artikel yang dipublikasikan World Economic Forum (Weforum) pada 2019, Korea Selatan telah mendaur ulang (recycling) 95% dari total sampah makanan mereka. Kesuksesan itu berawal dari langkah pemerintah Korsel melarang pembuangan sampah makanan ke tempat pembuangan sampah pada 2005. Langkah itu dilanjutkan dengan memberlakukan kewajiban mendaur ulang limbah makanan menggunakan kantong khusus yang mudah terurai atau biodegradable pada 2013.
Rata-rata keluarga dengan empat orang membayar US$6 per bulan untuk kantong tersebut. Disinsentif tersebut mendorong keluarga untuk melakukan pengomposan di rumah.
Apabila ditarik ke belakang, Korsel sudah merintis payung hukum untuk menaungi regulasi terkait dengan pengelolaan sampah sejak 1986. Saat itu, pemerintah Negeri Ginseng menerbitkan Undang-Undang Pengendalian Limbah (Waste Control Act Enact).
“Tetapi saat itu Korea masih miskin sehingga regulasi itu tidak berjalan. Baru pada 1995 kembali dimulai,” ujar Ahli Teknik Lingkungan dari Kyonggi University, Korea Selatan, Seung Whee Rhee dalam workshop “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang dilaksanakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation Jakarta, baru-baru ini.
Merujuk data Universitas Kyonggi, pemerintah Korsel menerbitkan UU promosi untuk mendaur ulang dan mengurangi penggunaan sumber daya (act on the promotion of saving and recycling of resources) pada 1992.
Baru pada 1995, klasifikasi sampah berdasarkan sumber dan jenisnya diperinci dalam regulasi pemerintah. Limbah diklasifikasikan menjadi sampah rumah tangga dan sampah industri (sampah industri umum, sampah konstruksi, dan sampah khusus).Tak berhenti pada klasifikasi sampah secara sederhana, Korsel membuat enam digit kode untuk jenis-jenis sampah yang berbeda.
Di level rumah tangga, sampah yang wajib untuk dipilah ialah sampah makanan, kertas, plastik, kaleng, gelas, sterofoam, dan tekstil. Sampah jenis tersebut akan didaur ulang. Klasifikasinya terus berkembang dengan menerapkan sampah barang-barang elektronik, termasuk dengan mengadopsi Eco-Assurance System (Eco-AS) di Korea.
“Sangat penting untuk membuat klasifikasi jenis sampah dengan kode yang berbeda-beda,” tuturnya.
Selanjutnya, sampah yang sudah dipilah di level rumah tangga dibuang ke proses pemilahan sampah di level rumah tangga. Khusus untuk sampah makanan, sistem pembuangan sampah pun telah diatur dengan menggunakan kantong plastik khusus yang mudah terurai, tempat sampah dengan cip atau stiker, serta mesin penampung sampah yang dilengkapi RFID (radio frequency identification).
Pada 2019, sampah rumah tangga Korsel tercatat mencapai 57.961 ton per hari. Sekitar 59,7% sudah didaur ulang, 25,7% masuk insenerator, dan 12,7% dibuang ke TPA.
Tingginya tingkat daur ulang di Korsel juga ditopang oleh ketersediaan fasilitas pengolahan sampah yang dibangun oleh pemerintah daerah. Saat ini, ada 33 fasilitas daur ulang milik pemerintah pusat dan daerah yang beroperasi.
Menurut Rhee, skema pendanaan fasilitas daur ulang publik itu berasal dari anggaran pemerintah daerah. Namun, apabila pemda tidak memiliki dana yang cukup pemerintah pusat akan turun tangan mengucurkan pendanaan dengan porsi 40% pusat dan 60% daerah.
Anggarannya, lanjut Rhee, akan lebih besar apabila proyek yang dibangun ialah integrated recycling facility yang digunakan oleh beberapa daerah sekaligus. Dalam proyek itu, sumber pendanaan didominasi oleh anggaran pemerintah pusat dengan porsi sekitar 80%-90%.
“Biayanya akan sangat tergantung pada kapasitas di public recycling facility. Kisarannya US$10.000 per ton kapasitas sampah yang didaur ulang,” imbuhnya.
Dari fasilitas daur ulang tersebut, sampah makanan diproses menjadi makanan hewan, kompos, hingga biogas.
Untuk sampah elektronik, saat ini Korea memiliki 12 pusat daur ulang yang dibangun oleh producer responsibility organization (PRO).
Rhee menuturkan pemerintah Korsel pada 2004-2006 menerbitkan beleid untuk mendorong permintaan produk daur ulang. Aturan itu salah satunya tertuang dalam UU promosi pembelian produk hijau yang terbit pada 2004.
POTENSI KOLABORASI
Indonesia dan Korea Selatan dinilai berpotensi untuk berkolaborasi untuk memacu terbentuknya ekosistem ekonomi sirkular. Menurut Rhee, area kolaborasi antara lain meningkatkan manajemen plastik melalui sistem EPR dan mengembangkan inovasi pembangkit listrik tenaga sampah (waste-to-energy) untuk mencapai target netral karbon.
“Kolaborasi e-waste management melalui komunitas ekonomi sirkular. Hal itu bisa diawali dengan membentuk sistem legal dan institusional,” ujarnya.
Dalam laporan The Economic, Social and Environmental Benefits of A Circular Economy in Indonesia yang merupakan hasil kolaborasi Kementerian PPN/Bappenas bersama UNDP Indonesia serta didukung oleh Pemerintah Kerajaan Denmark, penerapan ekonomi sirkular berpotensi meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Laporan yang diluncurkan pada awal 2021 tersebut mengungkap lima sektor di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk mengadopsi pendekatan ekonomi sirkular. Lima sektor itu ialah makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan besar dan ritel, serta kelistrikan dan peralatan elektronik.
Apabila ekonomi sirkular diterapkan dengan optimal di lima sektor itu, PDB Indonesia berpotensi bertambah sekitar Rp 593 triliun hingga Rp 642 triliun. Selain itu, implementasi konsep ekonomi sirkular di kelima sektor juga diestimasi dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru hingga 2030.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa memaparkan pentingnya ekonomi sirkular untuk pemulihan ekonomi dan reformasi sosial.
“Implementasi ekonomi sirkular diharapkan dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dan terobosan untuk membangun kembali Indonesia yang lebih tangguh pasca Covid-19, melalui penciptaan lapangan pekerjaan hijau (green jobs) dan peningkatan efisiensi proses dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya,” ungkapnya.
Model ekonomi sirkular sekaligus membuka peluang bagi para pelaku ekonomi untuk mengurangi konsumsi bahan, produksi limbah, dan emisi sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan penerapan model ekonomi sirkular ini juga dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia yang cukup signifikan.
Berdasarkan analisis Bappenas, ekonomi sirkular bisa membantu Indonesia mencapai penurunan emisi GRK sebesar 126 juta ton CO2 ekuivalen pada 2030. Hal itu didorong oleh beberapa faktor termasuk produksi limbah yang lebih rendah, penggunaan sumber daya alternatif yang lebih hemat energi, dan perpanjangan umur sumber daya.