Lantas, bagaimana prospek hubungan diplomatik Indonesia-Korea Selatan jelang perayaan HUT ke-50? Akankah target neraca dagang dan investasi tercapai?
Feni Freycinetia Fitriani – Bisnis.com
Bisnis.com, JAKARTA – Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea Selatan diprediksi akan semakin erat usai disahkannya perjanjian Indonesia Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan pemerintah telah resmi menyetujui rancangan undang-undang IK-CEPA serta Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) menjadi undang-undang. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan juga menyampaikan bahwa melalui RCEP dan IK-CEPA akan memudahkan Indonesia dalam melakukan ekspor karena akan terbebas dari bea masuk.
“Saya terima kasih tadi di paripurna [DPR] sudah menyetujui ratifikasi perjanjian RCEP dan IK CEPA, itu penting sekali karena kita akan menjadi keketuaan Asean,” kata Mendag Zulhas saat Rapat Kerja Komisi VI DPR, Selasa (30/8/2022).
Kebijakan pemerintah dan DPR RI untuk meningkatkan IK-CEPA menjadi undang-undang merupakan tonggak penting dalam hubungan ekonomi bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan. Pasalnya, pemerintah Negeri Ginseng semakin tertarik untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar dan pusat produksi baru (new production base) di Asean.
Pengesahan IK-CEPA menjadi undang-undang merupakan kabar baik bagi kedua negara. Apalagi, Indonesia-Korea Selatan akan merayakan ulang tahun emas atau Hari Ulang Tahun ke-50 hubungan bilateral pada November 2023.
Lantas, bagaimana sejarah serta prospek hubungan bilateral antara Indonesia-Korsel di masa depan?
Hubungan Diplomatik RI-Korsel
Peneliti Center for ASEAN-Indian Studies, The Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS) Cho Wondeuk mengungkapkan hubungan persahabatan Indonesia dan Korea Selatan dimulai pada November 1973.
“Indonesia dan Korea Selatan akan merayakan 50 tahun hubungan bilateral. Namun, bagaimana seharusnya kedua negara sebagai mitra strategis untuk mengatasi situasi global yang berlangsung saat ini?” ujar Cho Wondeuk dalam pembukaan Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2 yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation yang digelar Jumat (26/8/2022).
Cho Wondeuk mengungkapkan ada beberapa hal yang membuat Korea Selatan menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis, yaitu inisiator Konferensi Asia Afrika (KAA), memiliki keputusan diplomasi tidak memihak, salah satu negara besar di ASEAN, dan mitra pada sektor pertahanan.
Dia memaparkan Indonesia dan Korea Selatan juga menjalin hubungan bilateral yang dimulai pada strategic partnership pada Desember 2006 dan dilanjutkan dengan special strategic partnership pada November 2017 atau yang dikenal dengan sebutan Indonesia Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA).
“Perlu diingat, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asean yang menjalin special strategic partnership dengan Korea Selatan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya posisi Indonesia di mata Korsel,” imbuhnya.
Selain kerja sama bilateral, Cho mengungkapkan RI-Korsel juga tergabung dalam forum kooperasi regional dan global, antara lain PBB, APEC, ASEAN 3+, G20, hingga Mikta. Indonesia dan Korea Selatan, lanjutnya, juga menjalin kerja sama di bidang pertahanan, sumber daya manusia (capacity building), serta riset dan pengembangan (research and development).
Neraca Perdagangan RI-Korsel
Seperti diungkapkan sebelumnya, potensi terbesar hubungan bilateral Indonesia-Korea Selatan terletak pada sektor perdagangan. Pengesahan IK-CEPA menjadi undang-undang bukan hanya menciptakan tonggak sejarah baru, tetapi melahirkan potensi dagang kedua negara yang adil dan saling menguntungkan. Dikutip dari situs dataindonesia.id yang diakses pada Kamis (8/9/2022), neraca perdagangan Indonesia dan Korea Selatan mengalami defisit sebesar US$446,72 juta pada 2021.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit tersebut melanjutkan tren yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan Indonesia-Korea Selatan itu juga meningkat 30,7 persen jika dibandingkan setahun sebelumnya. Pada 2020, defisit neraca perdagangan Indonesia-Korea Selatan hanya sebesar US$341,81 juta. Adapun, defisit neraca perdagangan tersebut lantaran ekspor Indonesia ke Korea Selatan hanya sebesar US$8,95 miliar pada 2021. Jumlah itu tumbuh 38 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar US$6,5 miliar. Sedangkan, impor Indonesia dari Negeri Ginseng mencapai US$9,42 miliar pada 2021. Nilainya naik 37,63 persen dibandingkan pada 2020 yang sebesar US$6,85 miliar. Secara rinci, defisit terbesar perdagangan Indonesia dengan Korea Selatan berasal dari komoditas mesin dan peralatan listrik, televisi, serta suara lainnya sebanyak US$971,02 juta. Kemudian, defisit yang berasal dari komoditas mesin dan peralatan nuklir sebesar US$931,1 juta. Sementara itu, surplus perdagangan Indonesia dengan Korea Selatan terbesar untuk komoditas bahan bakar minyak sebesar US$1,88 miliar. Lalu, komoditas yang surplus berikutnya adalah bijih, terak dan abu mencapai US$725,4 juta.
Direktur Pusat Strategi Kebijakan Asia Pasifikk dan Afrika Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri RI Muhammad Takdir mengatakan Indonesia mencatatkan defisit perdagangan dengan Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, dia mengatakan Indonesia-Korea Selatan kini memiliki target ambisius demi mencapai surplus neraca dagang.
“Kedua negara telah menetapkan target yang ambisius, yakni US$30 miliar hingga akhir tahun ini,” ujarnya dalam acara Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2 yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation yang digelar Jumat (26/8/2022).
Muhammad Takdir mengungkapkan penyebab utama neraca dagang RI-Korea Selatan defisit tak lain karena hambatan non-tarif (NTMs). Menurutnya, NTMs yang diterapkan oleh Korea Selatan lebih banyak dan menjadi salah satu penghambat ekspor Indonesia.
Seiring dengan disahkannya IK-CEPA dan naiknya target nilai perdagangan kedua negara, dia mengungkapkan beberapa komoditas Indonesia yang berpotensi masuk ke pasar Korea Selatan.
“Potensi di sektor non-migas, antara lain produk CPO [crude palm oil] dan turunannya, kayu dan produk kayuk [kayu lapis], karet alam, dan kopi,” imbuhnya.
Prospek Investasi RI-Korsel
Selain perdagangan, kemitraan strategis di bidang ekonomi antara Indonesia dan Korea Selatan makin erat ditandai komitmen investasi senilai US$6,72 miliar atau setara dengan Rp100,69 triliun serta dukungan terhadap pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Buah tangan” berupa komitmen investasi tersebut dibawa langsung oleh Presiden Joko Widodo setelah bertatap muka dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol di Kantor Kepresidenan Yongsan, Seoul pada akhir Juli silam.
Jokowi mengatakan tren perdagangan kedua negara terus meningkat dan kedua negara berkomitmen untuk mempermudah hambatan perdagangan.
“Indonesia dan Korea Selatan sepakat untuk terus membuka akses pasar, mengatasi hambatan-hambatan perdagangan, dan mempromosikan produk-produk unggulan kedua negara,” kata Jokowi dalam keterangan resmi.
Dalam pertemuan dengan Presiden Yoon, Jokowi secara khusus mendorong kerja sama investasi dari Korea terutama di bidang percepatan pembangunan ekosistem mobil listrik di Indonesia termasuk proyek industri baterai terintegrasi dengan pertambangan dan industri baja otomotif untuk kendaraan listrik. Presiden Yoon Suk-yeol menyampaikan bahwa Korea Selatan berkomitmen untuk terus memperkuat kemitraan strategis dengan Indonesia sesuai dengan perkembangan dunia yang dinamis.
Pada hari yang sama, Jokowi bertemu dengan 10 pemimpin perusahaan besar Korea Selatan antara lain Kim Hag-dong CEO dari POSCO, Kim Gyo-hyun Vice Chairman/CEO dari Lotte Chemical, Brian Kwon Vice Chairman/CEO dari LG Corp, Sohn Kyung-Sik Chairman dari CJ Group, Mong-ik Chung, Chairman dari KCC Glass, Koo Ja-Eun Chairman dari LS Group, Roh Jin-seo CEO dari LX Holdings, Park Joo-hwan Chairman dari Taekwang, Lim Byeong-yong Vice Chairman/CEO dari GS E&C, Roh Tae-moon CEO dari Samsung Electronics. Jokowi dan delegasi RI juga menerima Executive Chairman Hyundai Motor Group, Chung Eui-sun.
“Selain mempererat sektor perdagangan, kedua negara berkomitmen dalam meningkatkan kerja sama investasi,” ucap Jokowi.
Investasi Korea Selatan di Indonesia tumbuh pesat dan memiliki prospek baik di bidang industri baja, petrokimia, baterai kendaraan listrik industri kabel listrik dan telekomunikasi, garmen, dan energi terbarukan.
Sementara itu, komitmen investasi strategis yang terjalin dalam kunjungan kerja di Korea Selatan adalah Posco akan menanamkan investasi US$3,5 miliar setara Rp52,5 triliun untuk pengembangan PT Krakatau Posco. Komitmen itu ditandai dengan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama investasi antara PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS), Kementerian Investasi, dan Posco.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa proyek IKN diminati banyak investor, termasuk dari Korea Selatan. Tiga perusahaan asal Korea Selatan menyatakan minatnya untuk berinvestasi di megaproyek IKN Nusantara, antara lain Posco, LG, dan Hyundai.
“Jadi enggak benar itu kalau ada persepsi yang orang selalu meragukan apakah ada investasi untuk masuk ke IKN,” kata Bahlil.
Lantas, bagaimana prospek hubungan bilateral RI-Korea Selatan jelang perayaan ulang tahun emas? Akankah target perdagangan dan investasi akan terwujud?