Muhammad Rusmadi – Rakyat Merdeka
Rakyat Merdeka – Sebagai negara maju, Korea Selatan (Korsel) saat ini menghabisan tak kurang dari 503,3 miliar dolar AS untuk total biaya impornya. Hampir 95 persen dari seluruh energi dan bahan bakunya pun merupakan barang impor. Sayangnya, hingga 2019, 65 persen penggunaan energi masih bergantung pada bahan bakar fosil.
Sementara, jumlah sampah di Korea juga meningkat, dari 346.669 ton per hari pada 2007 menjadi 497.238 ton perhari pada 2018. Terutama pada sampah konstruksi dan industri.
Hal ini diungkap Dr. Seung-Whee Rhee, Profesor di Departemen Teknik Lingkungan (Environmental Engineering), Kyonggi University, Korsel, pada Workshop “Sustainable Waste Management towards Circular Economy Society in Korea” (“Pengelolaan Sampah Berkelanjutan menuju Masyarakat Ekonomi Sirkular di Korea”), Jumat (15/10/2021) siang.
Workshop ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta.
FPCI adalah organisasi politik luar negeri non partisan, non politik dan independen, yang didirikan untuk membahas dan memperkenalkan isu-isu hubungan internasional kepada banyak pihak terkait di Indonesia, seperti diplomat, duta besar, pejabat pemerintah, akademisi, peneliti, bisnis, media, dosen, think tank, mahasiswa dan media.
Didirikan pada 2014 oleh Dr. Dino Patti Djalal (Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat periode Agustus 2010 hingga 17 September 2013 dan Wakil Menteri Luar Negeri hingga Juli hingga Oktober 2014), juga dikutip dari laman resminya, FPCI dibentuk untuk mengembangkan internasionalisme Indonesia, agar lebih mengakar di seluruh nusantara dan memproyeksikan dirinya ke seluruh dunia.
Secara global, lanjut Rhee, isu terpenting di bidang pengelolaan sampah dan sirkulasi sumber daya di Korsel, adalah Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan Ekonomi Sirkular (Circular Economy) yang menyertai netralitas karbon.
Ekonomi sirkular atau kadang disebut sirkularitas, adalah model produksi dan konsumsi, yang berupaya berbagi, menyewakan, menggunakan kembali, memperbaiki, memperbarui, dan mendaur ulang bahan dan produk yang ada selama mungkin.
Tujuannya, demi mengatasi tantangan global, seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, limbah dan polusi. Ini dianggap kebalikan dari ekonomi linier tradisional.
Di Korsel, terang Rhee, kerangka kerja tentang sirkulasi sumber daya, diberlakukan untuk mempromosikan daur ulang mulai 2018. “Menuju masyarakat Ekonomi Sirkular, praktik berkelanjutan berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle), menjadi isu utama di bidang pengelolaan sampah,” jelas doktor alumni Departemen Teknik Kimia, Louisiana State University Amerika Serikat pada 1991 ini.
Secara sederhana, Rhee menerangkan, konsep Ekonomi Sirkular ini melingkupi produksi (production), penggunaan (use) dan daur ulang (recycle). Sejak tahapan produksi, jelasnya, harus memprioritaskan sumber daya regeneratif. Selain itu, juga memikirkan kembali model bisnisnya. Seperti didesain untuk masa depan dan menggabungkan teknologi digital.
Kemudian dari sisi penggunaannya, juga diarahkan agar produk tersebut nantinya bisa digunakan kembali (reuse dan recycle). Pada tahap reuse-pun, juga diupayakan mempertahankan dan memperluas apa yang sudah dibuat.
Paska penggunaan (use), tahap berikutnya adalah memasuki daur ulang (recycle). Namun tak berhenti di sini, selain komponen yang memang tak bisa lagi digunakan sehingga mesti dibuang, komponen lainnya juga setelah dipilah, ada yang kembali bisa dimanfaatkan untuk diproduksi kembali.
Termasuk saat menjadi sampah pun, tetap mesti digunakan sampah sebagai sumber daya.
Lebih jauh, Anggota Dewan Nasional Kementerian Lingkungan Korsel ini menjelaskan tujuh elemen kunci dari Ekonomi Sirkular. Pertama, desain untuk masa depan, yaitu menggunakan bahan yang tepat, dirancang untuk masa pakai yang sesuai dan untuk penggunaan yang lebih lama di masa depan.
Kedua, menggabungkan teknologi digital. Yakni dengan melacak dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya, juga memperkuat koneksi antara pelaku rantai pasokan melalui platform online digital.
Ketiga, mempertahankan dan memperluas produk yang sudah dibuat. Maksudnya, sementara sumber daya sedang digunakan, juga dipertahankan, diperbaiki, dan ditingkatkan. Hal ini demi memaksimalkan masa pakainya. Juga karena produk tersebut masih bisa digunakan lagi melalui strategi penarikan kembali jika berlaku.
Keempat, memprioritaskan sumber daya regeneratif. Yakni memastikan sumber daya yang terbarukan, dapat digunakan kembali, tidak beracun digunakan sebagai bahan dan energi dengan cara yang efisien.
Kelima, menggunakan sampah sebagai sumber daya. Yakni memanfaatkan aliran limbah sebagai sumber daya sekunder, dan memulihkan limbah untuk digunakan kembali dan didaur ulang.
Keenam, memikirkan kembali model bisnis. Yaitu mempertimbangkan peluang untuk menciptakan nilai yang lebih besar dan semua insentif melalui model bisnis yang dibangun sebagai interaksi, antara produk dan layanan.
Lalu ketujuh, berkolaborasi untuk menciptakan nilai yang sama-sama disepakati. Yakni bekerjasama di seluruh rantai pasokan, secara internal dalam organisasi dan dengan sektor publik. Hal ini demi meningkatkan transparansi dan menciptakan nilai bersama.
Workshop ini dipandu oleh Agatha Lydia Natania, staf di ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN-IPR), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Dia juga Asisten Pribadi Dr Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri periode 9 Agustus 2001–20 October 2009) dan Asisten Peneliti Departemen Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Workshop yang digelar secara online di Jakarta ini, diikuti oleh 10 peserta The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea ini, yakni Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka/RM.id).
Kemudian Adhitya Ramadhan (Kompas), Ana Noviani (Bisnis Indonesia), Desca Lidya Natalia (Antara), Dian Septiari (The Jakarta Post), Idealisa Masyrafina (Republika), Laela Zahra (Metro TV), Riva Dessthania (CNN Indonesia), Suci Sekarwati (Tempo) dan Tanti Yulianingsih (Liputan6.com).
Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea merupakan wadah bagi para jurnalis profesional Indonesia untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan Indonesia-Korea, yang masih kurang terjamah karena keterbatasan akses informasi. [RSM]