Riva Dessthania – CNN Indonesia
Jakarta, CNN Indonesia — Enam dari 10 anak muda Korea Selatan disebut masih mendukung reunifikasi dengan Korea Utara di tengah kesenjangan ekonomi dan sosial antara kedua Korea yang semakin kentara.
Menurut survei Kementerian Pendidikan dan Kementerian Unifikasi Korsel pada Februari lalu, 62,4 persen dari total 68.750 anak SD hingga SMA menganggap kedua Korea tetap harus bersatu kembali.
Di antara para siswa yang mendukung unifikasi, 28,4 persen dari mereka menyebutkan penyatuan kedua Korea dapat mengurangi ancaman perang, sementara 25,5 persen lainnya menyebutkan masalah sejarah etnis sebagai alasannya.
Survei itu menunjukkan tingkat dukungan generasi muda Korsel soal reunifikasi meningkat 6,9 poin dibandingkan survei serupa yang dilakukan tahun lalu.
Namun, jumlah dukungan generasi muda Korsel terhadap reunifikasi dinilai tidak sekuat satu dekade lalu. Dalam survei yang sama, jumlah anak muda yang menentang unifikasi juga naik menjadi 24,2 persen pada 2021 jika dibandingkan pada 2018 dan 2019. Menurut mereka, unifikasi dapat memunculkan masalah ekonomi dan sosial bagi Korsel.
“Isu reunifikasi masih menjadi prioritas bangsa Korsel. Itu bahkan termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar kami. Namun, memang, pandangan generasi muda soal reunifikasi tidak sekuat dahulu,” kata Profesor Woo Jung-Yeop, Peneliti Sejong Institute, dalam workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation beberapa waktu lalu.
Menurut Woo, ada pergeseran pandangan generasi muda dari waktu ke waktu dalam menanggapi prospek hubungan Korut dan Korsel. Hal itu, katanya, dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan sosial Korsel.
Salah satu faktor yang membuat dukungan generasi muda menurun soal reunifikasi adalah kesenjangan ekonomi. Banyak generasi muda Korsel yang khawatir reunifikasi hanya akan memperbesar tantangan yang dihadapi mereka mulai dari segi ekonomi, persaingan pekerjaan, hingga pendidikan.
Banyak anak muda Korsel yang juga khawatir reunifikasi akan mempengaruhi perekonomian dan perkembangan yang tengah dicapai Korsel sampai saat ini. Mereka khawatir unifikasi dengan Korut hanya akan membawa Korsel melangkah ke belakang.
Pasalnya, Korsel terus berkembang menjadi negara dengan perekonomian yang maju dan budaya yang mendunia.
Saat ini, hampir seluruh warga negara mengenal Korsel, terutama soal budayanya mulai dari makanan, kosmetik, musik, film, drama hingga para artisnya.
Sementara itu, Korut di tangan kepemimpinan Kim Jong-un semakin tertutup dan terisolasi akibat ambisi program senjata rudal dan nuklirnya.
Sampai saat ini, Korut masih menjadi target sanksi internasional hingga membuat tingkat kemiskinan warganya semakin tinggi.
Belakangan, warga Korut juga dilaporkan tengah dihadapkan krisis kelaparan yang diperparah dengan musim dingin. Krisis itu juga diperburuk dengan pandemi Covid-19 sehingga membuat negara itu semakin terisolasi.
“Isu reunifikasi bagi pemerintahan Presiden Moon Jae-in saat ini merupakan topik yang sensitif,” kata Woo.
Woo menuturkan pemerintahan Moon tetap memegang teguh upaya perdamaian di antara kedua Korea yang hingga kini secara teknis masih berperang.
Pendekatan Moon, ucap Woo, cukup berbeda dengan pendahulunya, Presiden Park Geun-hye, soal reunifikasi.
Menurut Woo, pemerintahan Park yang konservatif lebih optimistik mengejar reunifikasi yang dinilai dapat menguntungkan Korsel.
“Saat kepemimpinan Park, pemerintah berulangkali menegaskan kalau unifikasi itu akan sangat menguntungkan warga Korea.Di satu sisi, Korsel memiliki perekonomian yang maju, sementara Korut memiliki sumber daya alam yang belum terjamah dan buruh yang murah. Menurut para konservatif ini menjadi peluang bagus,” ucap Woo.
Terlepas dari keuntungan, Woo menegaskan bahwa Korsel tetap berpegang teguh bahwa reunifikasi bukan berarti menyatu dengan Korut dan membentuk satu negara yang diktator, komunis, dan tidak demokratis.
Perbedaan ideologi itu, kata Woo, menjadi salah satu tantangan tersulit dalam merealisasikan reunifikasi.
“Karena ketika kita bicara soal unifikasi, itu berarti Kim Jong-un harus hilang,” ucap Woo.
“Kami (Korsel) tidak mau hidup menjadi negara diktator. Ketika kami mengatakan unifikasi, itu berarti kami menggambarkan sebuah negara demokratis dengan ekonomi kapitalis. Bukan negara yang otoriter, pemimpin komunis, tidak demokratis, dan terisolasi,” paparnya menambahkan.
(rds/rds)