Suci Sekarwati – Tempo.co
TEMPO.CO, Jakarta – Hutan di Indonesia menarik bagi negara-negara pendonor untuk berinvestasi di sektor perubahan iklim. Hanya saja, tak banyak uang dari negara pendonor lari ke Indonesia karena outcome dari Indonesia tidak bagus, baik itu secara politik dan scientific.
Menurut Suh-Yong Chung Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, penyebab dari sikap tersebut adalah kurangnya transparansi dan kapasitas untuk mengukur kontribusi. Perihal transparansi ini, sudah diperkenalkan dalam Paris Agreement.
“Kehutanan ini adalah sektor penting. Ada negara yang mau memberikan kredit kerja sama dengan Indonesia, namun harus ada transparansi. Jika transparansi dilakukan, itu akan membuka peluang. Sebab Negara donor itu butuh bukti,” kata Suh dalam workshop online Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea, Rabu, 1 September 1, 2021, yang diselenggarakan oleh Korea Foundation dan FPCI.
Suh menekankan, harus ada niat politik yang bagus dalam menjalankan program-program perubahan iklim. Sebab sebagus apapun program, tidak akan jalan jika tidak ada itikad politik yang bagus.
Bicara soal transparansi, Suh menyadari hampir setiap kebijakan disahkan oleh anggota parlemen. Biasanya anggota parlemen juga akan menyoroti seberapa besar dampak kebijakan itu ke negara dan masyarakat daerah.
Terkait hutan sebagai paru-paru dunia, untuk wilayah Latin orang-orang akan melihat Brasil. Sedangkan di kawasan Afrika, hutan di Kongo dipandang paling penting. Untuk wilayah Asia, negara-negara pendonor sangat tertarik dengan hutan di Indonesia.
Suh mengingatkan, penyelesaian masalah perubahan iklim bukan semata di tangan pemerintah. Masyarakat pun bisa ikut terlibat.
“Contohnya, rumuskan masalah-masalah perubahan iklim, yang paling kritis, di negara mu yang berdampak global (luas). Lalu, bermitralah dengan negara-negara pendonor, seperti Norwegia atau masuk ke beberapa kerja sama multilateral,” pungkas Suh.