Teddy Tri Setio Berty, Liputan6.com
Liputan6.com, Jakarta – 2023 akan menjadi tahun perayaan hubungan diplomatik Indonesia dan Korea Selatan. Nyaris setengah abad, hubungan kedua negara terjadi dalam berbagai sektor.
Lantas bagaimana tantangan dan peluang Indonesia-Korea Selatan jelang perayaan hubungan diplomatik ke-50 tahun?
Di masa yang penuh tantangan ini, kawasan Indo Pasifik tak luput dari sejumlah isu dan konflik, terutama dengan meningkatnya persaingan strategis China dan Amerika Serikat dari segi ekonomi, kata Dr Cho Wondeuk, Research Professor, Center for ASEAN-Indian Studies dari The Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS) dalam pemaparannya di pembukaan Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2.
Pada workshop pertama Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2 yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation, tema yang diangkat bertajuk ‘Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Toward It’s 50 Years Diplomatic Relationship’.
Selain persaingan antara AS-China dalam bidang ekonomi, Dr Cho Wondeuk turun menyebut pandemi COVID-19 juga menjadi tantangan bersama selama 2,5 tahun terakhir.
“Dalam hubungan intenasional, kita sekarang mengalami ‘perang’ sekaligus perubahan yang sangat dramatis, sehingga menimbulkan tantangan yang belum pernah terjadi dalam segala bentuk,” kata Dr Cho, Jumat (26/8/2022).
“Dunia menjadi lebih rumit dan terpolarisasi, dan seperti yang saya katakan sebelumnya, kita telah menghadapi tantangan yang sangat sulit dan rumit dalam urusan rantai pasokan.”
Menurut Dr Cho, ketegangan dan persaingan di kawasan Laut China Selatan turut menambah tantangan yang dihadapi oleh Indonesia-Korea Selatan.
“China membangun fasilitas militer di pulau-pulau di kawasan Laut China Selatan dan Tiongkok turut ‘merampas’ kedaulatan sejumlah pihak atas beberapa area di wilayah tersebut.”
“Pada saat yang sama, kita telah melihat pengaruh China yang berkembang di Asia Tenggara termasuk Samudra Hindia.”
Dr Cho mengatakan, berdasarkan konteks penelitiannya, pihaknya telah mengasumsikan terjadi penurunan relatif pada peran multilateralisme dan sebagai gantinya terjadi kebangkitan permasalahan yang berujung pada pelemahan identitas di Pasifik.