Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia – Dalam satu dekade terakhir, Indo-Pasifik telah menjadi panggung sentral dari konflik persaingan kekuatan besar yang berisiko bagi stabilitas negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.
Buktinya, Indo-Pasifik diwarnai oleh konflik Laut China Selatan yang selalu panas, konflik Selat Taiwan antara China dan Taiwan serta Semenanjung Korea antara Korea Selatan dan Korea Utara, dan konflik di Asia Selatan atau Samudera Hindia. Sebagai catatan, hampir semua konflik tersebut melibatkan China dan Amerika Serikat (AS) sebagai dua kekuatan besar (great power).
Professor Riset Center for ASEAN – Indian Studies, Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS), Cho Wondeuk mengungkapkan konflik di Indo-Pasifik luar biasa besar, terutama dengan meningkatnya kompetisi antara AS dan China.
“Saya menilai sebagian negara di dunia tidak boleh hanya menjadi pengamat di era great power saat ini,” ujarnya dalam Workshop bertema ‘Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relation’, Jumat (26/8/2022).
Dia menambahkan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dan Korea, harus membangun hukum konstruktif dan bekerja sama mencari solusinya dengan cara-cara yang inklusif, terbuka serta saling terhubung.
Namun, dia mengungkapkan kondisi kompetisi saat ini dibarengi dengan adanya penurunan multilateralism di dunia, sementara minilateralisme cenderung meningkat.
Contohnya, pembentukan kerja sama terbatas antara India, Jepang, AS dalam QUAD dan pakta keamanan trilateral antara AS, Inggris dan Australia.
Sementara itu, kekuatan besar seperti China memilih membentuk Global Security Initiative, Belt Road Initiative dan ekspansi potensial Shanghai Cooperation Organisation (SCO).
Kondisi ini, menurut Wondeuk, dapat berisiko melemahkan posisi Indo-Pasifik, termasuk Asean.
Oleh karena itu, dia sangat berharap negara-negara middle power seperti Korea, Australia dan Indonesia dapat merangkul negara-negara kecil untuk melakukan kerja sama kolektif di Indo-Pasifik.
Direktur Pusat Strategi Kebijakan Asia Pasifikk dan Afrika Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN), Kementerian Luar Negeri RI, Muhammad Takdir membenarkan bahwa survei terbaru dari ISEAS Yusof Ishak Institute pada tahun ini mencatat 61,5% responden khawatir Asean menjadi arena kompetisi dari kekuatan besar dan negara-negara anggotanya dapat menjadi arena perang proksi kekuatan tersebut.
Takdir mengakui upaya untuk menangani proteksionisme, perselisihan batas wilayah dan maritim, serta persaingan tidak sehat lainnya di Asean semakin sulit dengan hadirnya konflik AS dan China.
“Jika Asean harus menunjukkan pilihannya sendiri, maka Asean harus mencari pihak ketiga yang mampu memperluas ruang strategis dan opsinya.” ujar Takdir.
Pihak ketiga yang dimaksud adalah negara yang dapat mengimbangi persaingan sengit antara AS dan China.
Pilihan tersebut a.l. Korea Selatan, Jepang, India, dan Uni Eropa. “Sangat menarik jika kita bisa melihat Korea Selatan dan Jepang bekerja sama untuk mengimbangi persaingan antara AS dan China,” ungkapnya.